Sabtu, 16 Oktober 2010
The promise
"sekarang aku keliling terus"
"iteman, dekil :)"
"sebenernya aku malu, belle"
"cuma memang begini keadaanya, mau bilang apa?"
"tapi aku masih berusaha kok"
"semoga segala sesuatunya bisa membaik"
"maafin yah"
Ingatkah kamu, perkataan yang dulu selalu saya bisikkan berulang-ulang di telinga kamu, pagi siang sore malam maupun subuh?
Suatu hari nanti, kalau memang tidak ada lagi kata kita, maka saya berharap bahwa kamu akan bisa mencapai semua mimpi kamu.
Kamu ingat resolusi sepuluh tahunan kamu?
Dulu kamu bilang kamu sudah mencapai hampir sepertiganya. Dengan senyum bangga dan dagu terangkat kamu bilang kamu akan punya semuanya.
Dan saya percaya itu, seperti dulu saya selalu percaya kamu.
Lima tahun lagi, Gail.
Kamu masih punya lima tahun lagi untuk menggenapi itu.
Karena sungguh, kalau memang kamu tidak bisa menggenapi janji kamu pada saya setidaknya kamu bisa menggenapi janji kamu pada diri kamu sendiri.
Janji yang kamu buat bahkan sebelum kamu mengenal saya.
Janji untuk terbang dan menyentuh matahari.
Setidaknya buktikan itu pada diri kamu sendiri.
Bahwa kamu bukan si pecundang yang kalah oleh hidup.
Jangan tawar apalagi pahit hati.
Berdiri tegak dan percayalah bahwa salib yang kamu panggul tidak akan melebihi kekuatan kamu.
Saya mau kamu bahagia, Gail.
Bukan bahagia versi saya, atau bahagia versi mereka.
Tapi bahagia versi kamu.
Karena setidaknya kamu berhutang itu pada diri kamu sendiri.
Wanita dengan tawa seindah lonceng natal, itu yang mau saya lihat.
Suatu hari nanti, jika kita bertemu kembali.
(Be well there)
Label:
Letter
Jumat, 15 Oktober 2010
Alice in a wonderland
The one thing us humans can't go past is history. It's always there, hanging above us like a shadow. In the end it's what defines us. It's why we're scared or anxious. Why we're afraid to take risks. Because we all know how much it burns when it hurts.
Tapi selalu ada kamu, disana.
Di malam-malam saya yang resah,
Di pagi-pagi saya yang gelisah.
Lalu tidak perlu lagi ada banyak harap,
atau banyak pinta, ataupun banyak asa.
Cukup sebuah kejujuran yang bulat.
Percayalah, itu bahkan sudah lebih dari cukup.
At the end of the day, we always have a choice. To run around in circles, driving ourselves mad. Or just sit still and take it all in. Bit by bit, emotion by emotion, memory by memory. Store it in a box and shut it tight. Add it to our category of life and tuck it away.
Dan tidak perlu banyak janji,
Cukuplah ada disini
Hari ini.
We're either Alice or we're the rabbit. We're either running or we're looking.
And I'm done running.
Sabtu, 09 Oktober 2010
Tentang kamu dan saya
Dearest Abigail,
Sudah beberapa waktu terakhir ini saya merasa lebih baik.
Dunia saya berjalan dengan cukup wajar, ada banyak hal lain yang saya pikirkan selain kamu, bahkan saya sudah mulai banyak tertawa.
Hebat yah? saya saja tidak menyangka, bahwa saya bisa begini.
Memang kadang saya masih berpikir tentang kamu. Tentang apa kabarmu, dengan siapa kamu jalani hari-harimu. Tapi saya pikir itu wajar, karena saya pernah berbagi hampir segalanya dengan kamu.
Gail, waktu membuat saya memandang segalanya lebih objektif. Jarak membuat saya bisa menoleh kebelakang dan mengamati semuanya dengan rasa yang lebih adil.
Dulu saya selalu bilang bahwa kamu meninggalkan saya karena dia, karena kenyamanan hidup yang bisa dia tawarkan. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini saya merasa bahwa itu bukanlah alasan yang sesungguhnya.
Dari awal memang bukan saya, dan tidak pernah saya.
Pahit, namun itu kenyataanya.
Sekarang saya sudah bisa mulai belajar membedakan mana benar dan mana bohong. Setelah sekian lama mata saya buta karena kamu.
Kamu bilang kita pernah bahagia.
Itu benar, dulu.
Pada saat kamu merasa saya bisa kamu jadikan boneka yang tidak menuntut apapun. Saya selalu jadi tempat persembunyian untuk kamu, saat kamu butuh seseorang untuk memeluk dan membersihkan muntahmu.
Kamu bilang kamu cinta saya.
Itu bohong.
Karena cinta tidak hilang dalam kejapan mata. Cinta tidak bersembunyi di balik bisu.
Dan yang pasti cinta itu bukan cara kamu memperlakukan saya.
Setidaknya itu bukan definisi cinta, menurut saya.
Kamu bilang seharusnya saya tidak menekan kamu.
Itu benar.
Karena mungkin kalau saja saya tidak menekan kamu maka kamu akan tetap bersama saya.
Wanita yang kamu kunjungi pada saat kamu butuh seseorang untuk memuja kamu. Wanita yang rela menunggu kamu berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu jam dari waktu kamu.
Wanita simpanan kamu.
Kamu bilang kamu mau saya.
Itu separuh benar dan separuh bohong.
Benar karena kamu mau saya pada porsi yang sesuai dengan mau kamu. Bohong karena kamu tidak pernah benar-benar menginginkan saya sebagai ratu dalam hidup kamu.
Kamu bilang saya baik.
Itu benar.
Saya memang baik, setidaknya pada kamu. Saya bahkan tidak akan repot-repot menjelaskan kebaikan saya pada kamu. Karena kamu tidak buta. Dan bukankah selama ini kamu memanipulasi kebaikan saya?
Lalu kamu bilang saya layak mendapatkan apa yang lebih baik dari kamu.
Awalnya saya marah, tapi sekarang tidak lagi.
Karena ternyata perkataan itu adalah perkataan terjujur yang mungkin keluar dari mulut kamu.
Kamu memang tidak layak untuk saya cintai, apalagi saya gilai.
Jadi kamu jangan khawatir, saya memang bermaksud lari secepatnya dari kenangan tentang kamu.
Suatu hari nanti saya akan bahagia lagi, dan itu bukan karena kamu.
Untuk satu hal itu, saya bisa pastikan.
Label:
Letter
Jumat, 08 Oktober 2010
The Rainbow
Saya dulu pintar menulis.
Really.
Mungkin tidak sepintar para pengarang novel, atau para pujangga.
Tapi saya selalu bisa menulis. Menalikan kata demi kata, mengikatnya erat menjadi kalimat yang setidaknya cukup matang untuk dibaca.
Cinta.
Tanyakan tentang itu pada saya tahun lalu.
Saya akan mengurainya menjadi ribuan tulisan.
Dan saya jamin kamu akan mengerti.
Tapi sekarang menulis itu bukan lagi pekerjaan yang mudah untuk saya.
Kadang saya hanya diam di depan kubus maya, berharap ada seketik dua ketik kata yang bisa saya tulis.
Kadang saya jadi gagu, karena seberapa keraspun saya berusaha tidak pernah tercipta lagi lagu.
Sedangkan menulis tentang luka juga bukan sebuah jawab.
Karena kalau saya saja bosan mengasihani diri sendiri, apalagi yang membaca?
Lagi pula semua tampak basi, kalendar saja sudah berganti bulan.
Sudah musim penghujan, masa saya masih berurai air mata?
Terlalu cengeng,
Terlalu drama.
Saya tidak suka.
Itulah mungkin mengapa saya tidak lagi banyak menulis. Selain beberapa tulisan singkat sebagai penanda hidup.
Bukan, bukan karena saya tidak baik-baik saja.
Bukan pula karena saya tidak ada pada satu titik dimana saya sudah mulai bisa melihat segalanya dari sudut yang berbeda.
Hanya saja apa yang saya punya sekarang itu masih terlalu sedikit untuk saya bagi.
Kalau buat saya saja itu masih belum cukup, saya rasa tidak perlulah saya tulis disini.
Yang pasti waktu sudah berjalan dengan lebih wajar. Pikiran saya sudah mulai tidak melantur kesana dan kesini. Masa lalu sudah saya tambatkan jauh-jauh ke dasar laut.
Walau masa depan masih entah ada dimana, dan kata cinta belum lagi bisa terucap.
Tapi sudah ada jejak bibir lain yang menghapus jejaknya di bibir saya.
Itu sudah cukup,
Karena saya tidak boleh lagi serakah.
Sungguh,
Takut Tuhan marah!
---
Di belakang banyak hantu penunggu masa lalu
Di depan ada rahasia Sang empunya waktu
Tapi disini, ada pelangi yang cairkan batu
Rabu, 06 Oktober 2010
#Selfnote - 7
On the matters of feelings: Who cares if it doesn't look "normal"? It seems to me that the ones that stray the most from convention, who let it be what it is, have the most depth. And who cares what it might look like from the outside, to others? Your bliss is your bliss; no one else needs to understand in order to make it more real.
yang pasti saya menikmati, apa yang tersisa dari sebuah rasa yang tertinggal.
Label:
Selfnote
Senin, 04 Oktober 2010
(Almost) Perfect
Saya tidak punya banyak kata, karena semua yang ingin saya katakan telah saya bisikkan langsung di telinga kamu hari ini.
Tapi yang pasti hari ini saya cukup senang, dan yang membuatnya hampir sempurna itu mungkin karena ada kamu di dalamnya.
Terima kasih, untuk semuanya.
Ps: We should do it again some other time *wink*
Label:
Happy?
Sabtu, 02 Oktober 2010
Tentang Gundah
Kamu tahu, kadang masa lalu itu seperti hantu. Mereka datang begitu saja, melekat dalam pikir dan tak mau pergi. Mereka membebani langkah, mengikat kaki dengan rantai sampai kaki lekat dengan tanah. Mereka meracuni hati, mengkarati setiap kebahagiaan yang berhasil engkau ciptakan dengan susah payah. Seperti gelembung sabun yang ditusuki oleh jarum, seperti itulah bisa kau dengar nanah dihatimu pecah mengeluarkan bisa.
Saya tidak mengerti akan orang-orang perkasa yang berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Saya bertanya-tanya apa yang mereka lakukan sehingga telinga berhasil ditulikan dan mata seperti tertutup kain hitam. Saya tidak mengerti, orang-orang yang masih saja mampu menyusun keping kehidupan setiap kali badai datang dan menghamburkan segalanya.
Benarkah ada rasa benci yang begitu besar yang mampu menggerakan roda kehidupan? Atau mungkin ada kedamaian yang mampu menerbitkan sebuah kata ikhlas?
Saya tidak pernah membenci masa lalu saya. Mungkin mulut saya memang penuh makian, mungkin hati saya pahit dan jiwa saya keruh. Tapi untuk benar-benar membenci masa lalu saya rasanya tidak mungkin.
Bukan, bukan karena saya tidak punya cukup alasan. Bukan pula karena dia tidak pantas untuk saya sumpah serapahi. Tapi menurut saya aneh, membenci seseorang yang pernah kamu cintai setengah mati. Saya juga tidak pernah benar-benar bisa lupa. Karena seperti yang tadi saya bilang, masa lalu selalu punya cara untuk menyelusup masuk ke dalam kekinian.
Mungkin seperti wangi kopi pahit yang merasuki mimpimu.. menggugah sadarmu bahwa pagi telah tiba, dan kamu harus bangun.
Tapi kalau ada yang saya pelajari akhir-akhir ini mungkin adalah sebuah kenyataan bahwa hidup itu bukan sebuah film. Bahwa tidak pernah ada kata "rewind", "pause", atau "fast forward" dalam hidup.
Konsekuensi dari sebuah pilihan kadang tidak bisa kita anulir. Waktu-waktu berharga tidak bisa kita hentikan seberapa keraspun kita berusaha, dan luka? Tidak pernah ada jalan untuk memajukan waktu dan mengeringkannya dengan seketika.
Hidup adalah sebuah nyata. Bukan film 2 jam yang diakhiri oleh kata "dan mereka hidup bahagia selamanya".
Hidup adalah sebuah nyata, dan mungkin tidak pernah akan ada seorang pangeran yang mau bersusah payah menerobos hutan belantara hanya untuk mencium Sang putri tidur.
Hidup adalah sebuah nyata. Manusia itu kadang tidak khilaf. Mereka berubah pikiran.
Masa lalu itu adalah bagian dari saya.
Dan saya tidak punya tongkat ajaib untuk menghapus itu dari otak saya.
Saya hanya perlu mencari cara untuk berdamai dengan semuanya. Berhenti bertanya mengapa dan kenapa. Karena mungkin benar kata seseorang, sebuah jawaban hanya akan menimbulkan pertanyaan lain.
Karena kadang seseorang hanya berhenti mencintai, tanpa alasan.
Karena kadang manusia pergi, dan mereka tidak kembali.
Soekarno Hatta - Dalam gundah yang datang tiba-tiba.
Label:
Rambling
Langganan:
Postingan (Atom)