Jumat, 23 Juli 2010

The Strength


Saya selalu berpikir bahwa saya orang yang paling malang di dunia. Maklumlah, salah satu sifat saya itu lebai tingkat tinggi, and here I am these last couple of weeks, mengasihani diri sendiri karena saya selalu merasa sebagai victim.

I thought there won't be anyone as pity as me, as broken as me. Tapi nyatanya tidak, karena beberapa kunjungan saya ke blog-blog lain menyadarkan saya, bahwa broken heart, getting hurt, feeling deserted and forsaken itu biasa. Banyak yang mengalaminya, bukan cuma saya.

And somehow, perasaan tidak sendirian itu membuat saya lebih baik. Menguatkan saya, knowing that there are a lot people out there, who are as miserable as me. Mungkin dengan versi cerita yang berbeda, bumbu-bumbu yang sama sekali lain, but still.. the title is the same "AGONY".

Beberapa blog yang saya baca menyarankan banyak cara untuk mengatasi patah hati. Beberapa dari mereka bahkan (seperti juga saya) menenggelamkan diri dalam lautan kepedihan dan menciptakan bunga-bunga kata yang begitu menyedihkan. Ada yang sok berani, ada yang belajar ikhlas, ada yang terlampau tulus, ada yang ceria luar biasa, ada yang memaki dan mengumpat. Entah, there are lots of ways, depends on your preferences.

Ujung-ujungnya mungkin kami sama, para pencari kebahagiaan yang kehilangan jalan untuk meniti pelangi. Para penjudi yang kalah. Pahlawan-pahlawan hati yang gagal mencuri sedikit remah keabadian.

Dan pada akhirnya mungkin yang kami butuhkan itu juga sama. Sedikit waktu untuk menerima, sedikit waktu untuk memaafkan, sedikit waktu untuk menjadi kuat dan merelakan.

Be strong, for what that doesn't kill you .. really makes you stronger.

Rabu, 21 Juli 2010

One Step At A Time



Membaca postingan Denny, Jadi ingat kalau saya juga suka bilang "one step at a time".
Setidaknya itu yang coba saya lakukan, beberapa hari terakhir ini.
Saya masih patah hati, masih juga jatuh cinta.
Saya masih bersedih, masih marah, masih juga kecewa.
Saya masih menangis, masih teringat, dan masih juga suka bengong.
Tapi setidaknya saya masih mencoba untuk kuat, menjalani satu hari demi satu hari.

Kalung dari dia masih bertengger di leher saya. Parfum kesukaan dia juga masih ada di meja dandan saya. Tapi semua telepon saya matikan, menyisakan satu nomor yang masih saya pakai untuk pekerjaan saya.

Bukan, bukan membenci. Bukan pula ingin melupakan. Karena rasanya, membenci dia itu hal mustahil, apa lagi melupakan dia.
Saya hanya ingin mencoba menata hati, menyapu pecahan-pecahan mimpi yang berserakan di dada.

Untuk yang bertanya mengapa saya mematikan telepon saya, jawabannya sesederhana karena saya lelah menjadi orang paranoid. Bolak-balik mengecek status, bertanya-tanya apakah yang dia tulis itu untuk saya. Saya benci kecewa setiap kali dering terdengar dan itu bukan dari dia. Saya benci bersedih karena saya tidak pernah putus untuk berharap.

Seperti yang saya katakan tadi, "one step at a time".
Hari ini saya cuma melarikkan harap, bahwa saya bisa tidur dengan nyenyak tanpa memikirkan dia.

What I have to do is just making a smell step, every single day. One step at a time.
Probably I won't get to happiness, but I believe that someday .. I'll get as close as possible to it.


Senin, 19 Juli 2010

The Waiting


I am not stupid. I am not blind. I am just still in love.

Kamu bilang kamu tidak mau menyakiti saya.
Kamu tidak mau membuat saya menunggu terus menerus.
Tapi kamu meminta waktu, lagi.

Kamu tahu, saya mencintaimu setengah mati.
Bukan, mungkin hampir tiga perempat mati, atau seperdelapan mati.
Entah, sudah bosan menghitung.

Ini bukti cinta saya kepada kamu,
My last straw of heart. My last straw of will.
I will be waiting.
Seperti kata kamu, sampai awal bulan depan.

Mungkin saya akan menyesali hari ini,
Mungkin saya akan mengutuki kebodohan saya lagi,
Atau mungkin saya akan dicerca dan dihina-dina oleh semua.

Saya tidak tahu.
Kamu seharusnya sadar, bahwa kamu saya cintai luar biasa.
Bahkan lebih daripada saya mencintai diri saya sendiri.

BODOH! cepatlah bangun!
Saya tidak bisa menunggu selamanya.

Sabtu, 17 Juli 2010

The Despair




Kamu tahu,
Saya sering marah pada kamu. Mengata-ngatai kamu bodoh atau buta, baik di depan maupun di belakang kamu.
Saya sering kecewa. Karena ketidaksentifan kamu, karena kamu selalu saja menjadikan saya sebuah opsi padahal kamu tahu dengan pasti bahwa kamu adalah prioritas.
Saya juga sering sedih. Jangan tanya berapa banyak air mata yang mengalir turun gara-gara kamu. Gara-gara pertengkaran kita, atapun semata-mata karena saya rindu kamu.
Jangan pula tanyakan betapa sering saya gemas luar biasa. Kalau saja kamu ada di hadapan saya, sudah habis kamu saya cubiti, atau saya jewer karena kamu tidak pernah mau mengerti.

Tapi sampai hari ini, saya tidak pernah putus asa.
Saya tidak pernah begitu bingung, begitu hampa, begitu letih akan semua.
Saya letih mengejar bayang kamu,
Rasanya seperti melihat bayangan purnama di sebuah danau, indah namun tak pernah bisa terjangkau.
Saya putus asa karena saya benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan untuk meyakinkan kamu, bahwa kamu tidak perlu takut.

Saya bahkan mulai berpikir yang aneh-aneh. Maafkan saja, terlalu sulit rasanya menyimpan rasa positif sementara semua hal menunjukkan hal yang sebaliknya.
Saya mulai mempertanyakan cinta kamu, saya mulai mempertanyakan perasaan kamu.
Benarkah kamu selama ini hanya mempermainkan saya?
Benarkah mimpi yang selama ini saya pikir punya kita berdua itu sebenarnya palsu?
Benarkah semuanya tidak ada artinya lagi untuk kamu? Atau sebenarnya dari dulupun tidak pernah berarti?

Kamu bisu. Kamu gagu.
Yang ada cuma seketik senyum. Tanda :) yang bahkan saya tidak tahu lagi apa artinya.
Yang ada cuma sebaris kata, bahwa kamu perlu berpikir.
Apa lagi yang perlu kamu pikirkan?
Mengapa sekarang? 2 tahun setelah kamu curi hati saya.
Mengapa sekarang? saat semua mimpi telah saya letakkan hati-hati di tangan kamu.
Bukankah pernah saya minta dengan sangat, untuk tidak pernah kamu permainkan hati saya.

Entah mengapa saya menulis ini malam ini.
Mungkin ini sebuah kesedihan, yang saya bahkan tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapnya.
Mungkin ini sebuah rasa hampa, karena begitu lelah hati, karena begitu lelah diri.

Saya ingin sembunyi.
Saya benar-benar ingin sembunyi.
Saya lelah terlonjak kaget setiap dering telepon terdengar, saya lelah berharap, saya lelah bangun dengan rasa hampa karena satu hari lagi berlalu dan kamu masih saja disana entah dengan apa dan siapa.

Saya mengerti bahwa mungkin kamu tidak kembali. Tapi tolong jangan bohongi saya lagi dengan menulis bahwa kamu tidak tahu jalan untuk kembali.
Kamu hanya tidak mau kembali, bukan tidak bisa kembali.

Saya lelah, saya lelah dengan begitu banyak rasa yang ada.
Saya bahkan lelah untuk mencoba membenci kamu.


Jumat, 16 Juli 2010

A place called home



I hope I will find a way to be home

Kamu tahu, kamu tidak seharusnya berjalan sendirian disana. Seperti saya, yang tidak seharusnya berdiri sendiri disini.
Yang perlu kamu lakukan hanya duduk diam di hadapan lilin yang melambai pasrah, untuk sekedar benar-benar mendengar, detak hati saya yang terjahit kuat di dada kamu.

Saya masih menunggu kamu, Gail.
Saya masih menunggu senyuman yang dulu pernah menjadi kuat buat langkah saya.
Masih menunggu janji kamu untuk tidak pernah pergi, untuk tidak pernah berubah.
Untuk selalu setia, sampai maut memisahkan kita.

Kamu masih satu-satunya cinta dalam hidup saya.
Jadi saya mohon, tolong jangan pernah menyerah.

(A cup of coffee and a cup of tea .. please, come home soon!!)

Kamis, 15 Juli 2010

Tentang Edward, dan tentu saja Bella



Semua orang yang saya kenal tahu betapa tergila-gilanya saya pada kisah cinta karangan Stephanie Meyer itu. Saya menghabiskan ribuan lembar halaman dalam waktu dua hari, begitu terus semua buku saya lalap habis.

Awalnya saya tidak tertarik, sampai akhirnya komplimen demi komplimen tentang kisah cinta antara vampir laki-laki dan wanita smu ini membangkitkan keingin-tahuan saya. Saya penasaran. Ternyata memang buku ini sangat menarik, dan mereka tidak mengada-ada. Setelah beberapa lembar halaman pertama, saya larut dalam kisah cinta luar biasa antara mereka, sang vampir dan si manusia. Edward dan Bella.

Saya jatuh cinta dengan cara mereka mengekspresikan kerinduannya, saya jatuh cinta dengan kata demi kata yang keluar dari mulut mereka. Saya jatuh cinta, pada cinta mereka, pada kutukan mereka, pada keinginan mereka, pada impian dan nafsu mereka. Saya bahkan jatuh cinta, pada penderitaan mereka.

Lembar demi lembar saya lahap dengan rakus, kalimat demi kalimat memborbardir isi kepala saya, saya tertawa bersama mereka, saya menangis bersama mereka. Saya merasa, saya menjadi mereka. Saya Bella, yang mencintai Edward saya.

Edward versi saya bukan sesosok vampir berkulit putih, bermata hitam kelam, dan berambut coklat kemerahan. Edward versi saya hadir dalam sosok seorang wanita sederhana yang punya garis wajah keras dan mata yang menembus jauh ke dalam jiwa saya. Mungkin persamaanya adalah, Edward versi saya juga seorang vampir, walau bukan dalam arti harafiah. Dia hanya punya hati yang dingin, penuh luka, tanpa jiwa, setidaknya itu yang saya rasakan kali pertama saya berkenalan dengannya. Dan satu hal lagi, seperti Bella, saya juga mencintainya dengan cinta yang teramat dalam dan tanpa syarat, walau saya tau .. cintanya mampu membunuh saya.

Kisah ini bukan lagi kisah fiksi tentang Sang vampir dan si gadis pemimpi. Ini kisah tentang Edward, dan saya. Dua manusia dengan begitu banyak luka di hati. Ini sebuah memoar tentang cinta terlarang, cinta yang tidak seharusnya ada namun dengan kekeraskepalaanya tetap tumbuh untuk jadi rimbun. Ini sebuah tulisan, tentang perjalanan, dimana tidak pernah ada jalan kembali tanpa menjadi remuk dan hancur.

Aku capek berusaha menjauh darimu. Jadi aku menyerah. Menyerah berusaha bersikap baik. Sekarang aku hanya akan melakukan apa yang aku inginkan, dan membiarkan semuanya terjadi sebagaimana mestinya.

Seperti Bella yang terkesima kali pertama dia melihat Edward, seperti itulah perasaan saya pertama kali saya mengenal dia. Ada satu aura yang tidak bisa saya jelaskan yang menarik saya dengan begitu rupa untuk mendekat kepadanya. Kami bagai magnet yang saling tarik menarik. Semakin kami berusaha untuk melepaskan diri, semakin serpihan demi serpihan dari hati kami melekat menjadi satu. Seperti Bella dan Edward yang tak kuasa saling menghindari, seperti itulah kami tak kuasa saling menjauhi.

Segalanya begitu kuat, segalanya tak terelakan, perjumpaan pertama, kecupan pertama, pelukan pertama, persetubuhan pertama. Segalanya begitu indah, luar biasa dan memabukkan. Kami bahkan sudah lelah untuk berusaha mengingkari segalanya, karena bagaimana mungkin? segalanya begitu nyata, bahkan diantara realitas yang sedemikian absurdnya pun ini masih terlampau mengikat untuk dilepaskan.

Dan Seperti Edward yang dikutuk untuk mencintai Bella si manusia fana, dan Bella yang dikutuk untuk tua dan mati tanpa bisa memiliki Edward sepenuhnya, demikian pula kisah cinta saya dengan "Edward". Cinta kami tumbuh layaknya kutukan yang tidak bisa dipatahkan. Bagaikan dua sisi kepingan mata uang logam, cinta antara saya dan dia berkembang hebat begitu cepat seiring dengan kepedihan yang menyertainya. Tidak pernah ada tawa murni yang tidak dihiasi kesedihan, tidak pernah ada ciuman yang tidak diiringi dengan doa-doa penuh harap, tidak pernah ada hari tanpa kepedihan yang menyelip masuk begitu saja.
Layaknya mencintai sesosok matahari, kami dikutuk untuk tidak pernah bisa mencintai tanpa tersengat dan terbakar oleh cahayanya. Layaknya mencintai rembulan, sudah suratan takdir untuk bercinta dibawah dingin yang membekukan tulang. Kami terhujat, ketenangan menjadi permata yang begitu berharga diantara begitu banyak telunjuk dan tatapan mata yang penuh tudingan.
Dan cinta, mungkin cuma itu yang kami punya.
Cinta, tanpa sebentuk pengakuan.
Cinta kami, cinta yang walaupun megap-megap kekurangan oksigen berusaha menyelusup di lorong-lorong kecil gelap, bau, dan penuh tikus got

Maaf, telalu mudah menjadi diriku sendiri ketika bersamamu.

Sewaktu saya membaca kata-kata itu entah di halaman keberapa, sungguh saya tertegun hampir semenit penuh. Kalimat itulah yang menggema di hati saya ketika saya bersama dia. Kedekatan kami, entah bagaimana, dengan ajaibnya merontokkan tembok demi tembok yang kami bangun selama ini. Terlalu mudah untuk menjadi lemah, terlalu mudah untuk mempercayai mimpi, terlalu mudah untuk melonggarkan pertahanan diri dan sekali lagi bermimpi. Tabir demi tabir disingkapkan, dan selayaknya putri arabia menyingkapkan cadar untuk menyongsong kekasihnya, begitu pula kami, telanjang di hadapan satu sama lain ... dengan tubuh kasar, dengan hati tanpa tubir, mengamati, bercinta dengan dosa.
Selalu manis, seperti kembang gula yang lumer di lautan hati, seperti bau marshmallow bakar yang dicelupkan ke dalam susu coklat, seperti itu kami, yin dan yang, menyatu, melekat, bagai putri kerajaaan antah berantah yang tergoda rayuan apel beracun.
Tidak ada lagi seorang saya, tidak ada lagi dia, yang ada hanya kami. Dan dia bukan Edward dengan yang memiliki kekasih seorang peri dengan sejuta bisa, dia menjadi Edward milik saya. Edward yang menyentuh saya sampai ke dasar yang paling dalam. Dan saya Bellanya, miliknya seorang.

"Apa yang kau takutkan, Bella?"
"Aku takut, aku tidak bisa terus bersamamu. Karena untuk alasan yang jelas, aku tak bisa terus di dekatmu. dan Aku takut keinginan untuk bersamamu bahkan lebih kuat dari seharusnya."


Jangan pergi, sayang. Kalau saja kata itu cukup kuat untuk membuatmu tinggal, kalau saja kata itu mampu menghentikan waktu dan membuatmu terus bersandar di pelukan saya, kalau saja kata itu bisa mematahkan rantai-rantai yang menyimpan nama demi nama dan kewajiban demi kewajiban.. maka saya rela, menghabiskan detik demi detik dalam kehidupan saya untuk membisikan doa demi doa, merayu sang pencipta waktu sampai mulut saya berbusa kehabisan nafas supaya jalan kami tidak pernah akan terpisah.

Dia Edward milik saya, yang mencintai saya dengan cinta yang sedemikian uniknya. Yang menyisakan sedikit hangat yang tersisa dari hatinya yang biru untuk memeluk segala luka.
Dia Edward milik saya, sesosok wanita sederhana yang membawa doa dalam langkahnya, yang memimpikan lautan dan gunung dan sebentuk rumah sederhana.
Dia adalah Sang cinta, Sang matahari, dan Sang nafas.

Aku tak tau bagaimana caranya dekat denganmu, aku tak tahu apakah aku bisa

Tapi ternyata tidak sesulit itu. Ternyata rasanya sealami kami bernafas, senormal matahari yang timbul di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Rasanya semudah air yang mengalir dari hulu menuju ke hilir. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami pulang.
Seiring dengan bibir yang mengecup, seirama dengan detakan jantung saat tubuh melekat, di tengah lenguhan dan manisnya suara, kami kembali ke rumah.
Ternyata semudah itu cinta timbul, sesederhana itu cinta ada.. yang entah bagaimana caranya, di atas segala alasan untuk keterpisahan kami, cinta kami punya jalan untuk tumbuh walau diantara derai air mata.

Saya Bellanya, yang mencintainya dengan kekompleksitasan cinta dan keadaan. Yang menggumamkan namanya setiap malam sebelum mata terpejam.
Saya Bellanya, sesosok wanita dengan sejuta kekurangan yang membawa harap dalam dada, yang memimpikan cinta, kebahagiaan, dan harapan.
Saya Bellanya, cintanya, wanitanya, dan jiwanya.

..
..
..


Ini tulisan terlama yang pernah saya buat, berhari-hari saya memikirkan bagaimana saya harus menulis akhir dari tulisan ini. Tapi toh nyatanya, penghabisannya tidak pernah selesai saya tulis sampai detik ini. Sejujurnya, saya bingung! Saya tidak tau apa yang lebih bijak. Apakah saya harus menulis akhirnya sesuai dengan apa yang saya mau, atau saya harus menulis akhirnya sesuai dengan apa yang saya prediksi akan terjadi. Apakah saya harus menulis mimpi, atau saya harus menulis kenyataan walau pahit adanya. Sebuah cerita bahagiakah ini? Apakah kalimat akhirnya akan menceritakan tentang saya dan dia yang duduk di tepi pantai sambil berpelukan mesra?, atau sebaiknya saya menulis bahwa pada akhirnya saya dan dia harus berpisah setelah sedemikian kerasnya kami berusaha untuk bersama?, atau sebaiknya aku menulis bahwa akhirnya kami menyerah dan memilih untuk menghindari satu sama lain sama empat paku memaku peti mati kami di kehidupan sekarang?
Dan bagaimana dengan cinta? bagaimana harus mengakhiri cinta kami? apakah lebih baik jika saya yang mengucapkan selamat tinggal kepadanya? atau dia yang mengucapkan salam perpisahan kepadaku? akankah cinta ini saya buat menjadi abadi walau kita tidak bersama-sama lagi? atau lebih baik kita berakhir dengan saling membenci dan saling memaki?
Saya masih tidak punya jawabnya, jari saya kelu pada saat seharusnya saya menulis akhir dari kisah ini. Karena itu akhir cerita ini belum kelar sampai sekarang. Seperti saya sedang dag-dig-dug menantikan buku selanjutnya dalam trilogi kisah Edward dan Bella ini, saya pun sedang menerka-nerka kemana akhir cinta kami akan berlabuh.
Tapi apapun hasilnya nanti, percayalah .. saya tidak sedang bermimpi sewaktu memimpikannya.

"Aku mencintaimu lebih dari semua yang ada di dunia ini bilang digabungkan, tidakkah itu cukup, Edward?"
"Ya itu cukup, cukup untuk selamanya"


Rabu, 14 Juli 2010

The New Beginning



Question no.1: Why blogging again?

Sudah cukup lama saya tidak mempunyai blog pribadi. Blog terakhir yang saya punya itu blog saya bersama dia, itupun isinya cuma kumpulan tulisan yang saya tulis untuk dia. So its really been a while, writing for myself, about my life.
Kalau ditanya mengapa saat ini saya memutuskan untuk menulis lagi, mungkin jawabannya karena ada orang yang bilang bahwa menulis itu melegakan. Dan rasanya, saya sudah terlalu lelah membungkam begitu banyak rasa.

Question no.2: What will I write?

Honestly, I have no clue.
I don't even know blog ini akan diisi oleh tulisan seperti apa. 2 tahun belakangan ini, setiap tulisan saya hanya tentang dia. Dan duduk di gerbang dunia maya, mencoba merangkai kalimat.. Lagi-lagi hanya membuat saya ingin menulis tentang dia. Jadi apakah blog ini hanya akan jadi blog murahan penuh pemujaan akan dia, atau blog ini akan menjadi blog yang penuh makian karena dia tidak ada lagi dalam hidup saya, saya masih belum tahu. Saya masih belum bisa memutuskan.
I will start with a small step, writing this introduction.

Question no.3: How am I?

The answer is, I don't know. I'm not sure.
I want to say that I'm fine, but I would be lying. I want to say that I'm not fine, tapi nyatanya saya masih well functioned. Saya masih bisa bekerja. Saya masih makan , masih tidur, masih bisa (mencoba) bertahan setiap harinya.
Kali ini permintaan saya tidak banyak. Saya hanya ingin menjalani satu hari demi satu hari. Menambahkan sedikit demi sedikit keyakinan, kalau suatu saat nanti, entah bagaimana caranya.. saya akan bisa mengerti, segala hal yang Sang Pencipta waktu izinkan terjadi dalam hidup saya.
Tidak pernah mudah, kehilangan segala yang pernah menjadi segalanya dalam hidup saya.
But I'm glad that I survive another day.

So that's it for now..
I will see you when I see you again :)