Sabtu, 16 Oktober 2010

The promise



"sekarang aku keliling terus"
"iteman, dekil :)"


"sebenernya aku malu, belle"
"cuma memang begini keadaanya, mau bilang apa?"
"tapi aku masih berusaha kok"
"semoga segala sesuatunya bisa membaik"


"maafin yah"

Ingatkah kamu, perkataan yang dulu selalu saya bisikkan berulang-ulang di telinga kamu, pagi siang sore malam maupun subuh?
Suatu hari nanti, kalau memang tidak ada lagi kata kita, maka saya berharap bahwa kamu akan bisa mencapai semua mimpi kamu.

Kamu ingat resolusi sepuluh tahunan kamu?
Dulu kamu bilang kamu sudah mencapai hampir sepertiganya. Dengan senyum bangga dan dagu terangkat kamu bilang kamu akan punya semuanya.
Dan saya percaya itu, seperti dulu saya selalu percaya kamu.

Lima tahun lagi, Gail.
Kamu masih punya lima tahun lagi untuk menggenapi itu.
Karena sungguh, kalau memang kamu tidak bisa menggenapi janji kamu pada saya setidaknya kamu bisa menggenapi janji kamu pada diri kamu sendiri.
Janji yang kamu buat bahkan sebelum kamu mengenal saya.
Janji untuk terbang dan menyentuh matahari.

Setidaknya buktikan itu pada diri kamu sendiri.
Bahwa kamu bukan si pecundang yang kalah oleh hidup.
Jangan tawar apalagi pahit hati.
Berdiri tegak dan percayalah bahwa salib yang kamu panggul tidak akan melebihi kekuatan kamu.

Saya mau kamu bahagia, Gail.
Bukan bahagia versi saya, atau bahagia versi mereka.
Tapi bahagia versi kamu.
Karena setidaknya kamu berhutang itu pada diri kamu sendiri.

Wanita dengan tawa seindah lonceng natal, itu yang mau saya lihat.
Suatu hari nanti, jika kita bertemu kembali.

(Be well there)

Jumat, 15 Oktober 2010

Alice in a wonderland



The one thing us humans can't go past is history. It's always there, hanging above us like a shadow. In the end it's what defines us. It's why we're scared or anxious. Why we're afraid to take risks. Because we all know how much it burns when it hurts.

Tapi selalu ada kamu, disana.
Di malam-malam saya yang resah,
Di pagi-pagi saya yang gelisah.

Lalu tidak perlu lagi ada banyak harap,
atau banyak pinta, ataupun banyak asa.

Cukup sebuah kejujuran yang bulat.
Percayalah, itu bahkan sudah lebih dari cukup.

At the end of the day, we always have a choice. To run around in circles, driving ourselves mad. Or just sit still and take it all in. Bit by bit, emotion by emotion, memory by memory. Store it in a box and shut it tight. Add it to our category of life and tuck it away.

Dan tidak perlu banyak janji,
Cukuplah ada disini
Hari ini.

We're either Alice or we're the rabbit. We're either running or we're looking.
And I'm done running.


Sabtu, 09 Oktober 2010

Tentang kamu dan saya




Dearest Abigail,

Sudah beberapa waktu terakhir ini saya merasa lebih baik.
Dunia saya berjalan dengan cukup wajar, ada banyak hal lain yang saya pikirkan selain kamu, bahkan saya sudah mulai banyak tertawa.
Hebat yah? saya saja tidak menyangka, bahwa saya bisa begini.

Memang kadang saya masih berpikir tentang kamu. Tentang apa kabarmu, dengan siapa kamu jalani hari-harimu. Tapi saya pikir itu wajar, karena saya pernah berbagi hampir segalanya dengan kamu.

Gail, waktu membuat saya memandang segalanya lebih objektif. Jarak membuat saya bisa menoleh kebelakang dan mengamati semuanya dengan rasa yang lebih adil.
Dulu saya selalu bilang bahwa kamu meninggalkan saya karena dia, karena kenyamanan hidup yang bisa dia tawarkan. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini saya merasa bahwa itu bukanlah alasan yang sesungguhnya.
Dari awal memang bukan saya, dan tidak pernah saya.
Pahit, namun itu kenyataanya.

Sekarang saya sudah bisa mulai belajar membedakan mana benar dan mana bohong. Setelah sekian lama mata saya buta karena kamu.

Kamu bilang kita pernah bahagia.
Itu benar, dulu.
Pada saat kamu merasa saya bisa kamu jadikan boneka yang tidak menuntut apapun. Saya selalu jadi tempat persembunyian untuk kamu, saat kamu butuh seseorang untuk memeluk dan membersihkan muntahmu.

Kamu bilang kamu cinta saya.
Itu bohong.
Karena cinta tidak hilang dalam kejapan mata. Cinta tidak bersembunyi di balik bisu.
Dan yang pasti cinta itu bukan cara kamu memperlakukan saya.
Setidaknya itu bukan definisi cinta, menurut saya.

Kamu bilang seharusnya saya tidak menekan kamu.
Itu benar.
Karena mungkin kalau saja saya tidak menekan kamu maka kamu akan tetap bersama saya.
Wanita yang kamu kunjungi pada saat kamu butuh seseorang untuk memuja kamu. Wanita yang rela menunggu kamu berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu jam dari waktu kamu.
Wanita simpanan kamu.

Kamu bilang kamu mau saya.
Itu separuh benar dan separuh bohong.
Benar karena kamu mau saya pada porsi yang sesuai dengan mau kamu. Bohong karena kamu tidak pernah benar-benar menginginkan saya sebagai ratu dalam hidup kamu.

Kamu bilang saya baik.
Itu benar.
Saya memang baik, setidaknya pada kamu. Saya bahkan tidak akan repot-repot menjelaskan kebaikan saya pada kamu. Karena kamu tidak buta. Dan bukankah selama ini kamu memanipulasi kebaikan saya?

Lalu kamu bilang saya layak mendapatkan apa yang lebih baik dari kamu.
Awalnya saya marah, tapi sekarang tidak lagi.
Karena ternyata perkataan itu adalah perkataan terjujur yang mungkin keluar dari mulut kamu.
Kamu memang tidak layak untuk saya cintai, apalagi saya gilai.

Jadi kamu jangan khawatir, saya memang bermaksud lari secepatnya dari kenangan tentang kamu.
Suatu hari nanti saya akan bahagia lagi, dan itu bukan karena kamu.
Untuk satu hal itu, saya bisa pastikan.

Jumat, 08 Oktober 2010

The Rainbow



Saya dulu pintar menulis.
Really.
Mungkin tidak sepintar para pengarang novel, atau para pujangga.
Tapi saya selalu bisa menulis. Menalikan kata demi kata, mengikatnya erat menjadi kalimat yang setidaknya cukup matang untuk dibaca.

Cinta.
Tanyakan tentang itu pada saya tahun lalu.
Saya akan mengurainya menjadi ribuan tulisan.
Dan saya jamin kamu akan mengerti.

Tapi sekarang menulis itu bukan lagi pekerjaan yang mudah untuk saya.
Kadang saya hanya diam di depan kubus maya, berharap ada seketik dua ketik kata yang bisa saya tulis.
Kadang saya jadi gagu, karena seberapa keraspun saya berusaha tidak pernah tercipta lagi lagu.

Sedangkan menulis tentang luka juga bukan sebuah jawab.
Karena kalau saya saja bosan mengasihani diri sendiri, apalagi yang membaca?
Lagi pula semua tampak basi, kalendar saja sudah berganti bulan.
Sudah musim penghujan, masa saya masih berurai air mata?
Terlalu cengeng,
Terlalu drama.
Saya tidak suka.

Itulah mungkin mengapa saya tidak lagi banyak menulis. Selain beberapa tulisan singkat sebagai penanda hidup.

Bukan, bukan karena saya tidak baik-baik saja.
Bukan pula karena saya tidak ada pada satu titik dimana saya sudah mulai bisa melihat segalanya dari sudut yang berbeda.
Hanya saja apa yang saya punya sekarang itu masih terlalu sedikit untuk saya bagi.
Kalau buat saya saja itu masih belum cukup, saya rasa tidak perlulah saya tulis disini.

Yang pasti waktu sudah berjalan dengan lebih wajar. Pikiran saya sudah mulai tidak melantur kesana dan kesini. Masa lalu sudah saya tambatkan jauh-jauh ke dasar laut.
Walau masa depan masih entah ada dimana, dan kata cinta belum lagi bisa terucap.
Tapi sudah ada jejak bibir lain yang menghapus jejaknya di bibir saya.

Itu sudah cukup,
Karena saya tidak boleh lagi serakah.
Sungguh,
Takut Tuhan marah!

---

Di belakang banyak hantu penunggu masa lalu
Di depan ada rahasia Sang empunya waktu
Tapi disini, ada pelangi yang cairkan batu


Rabu, 06 Oktober 2010

#Selfnote - 7



On the matters of feelings: Who cares if it doesn't look "normal"? It seems to me that the ones that stray the most from convention, who let it be what it is, have the most depth. And who cares what it might look like from the outside, to others? Your bliss is your bliss; no one else needs to understand in order to make it more real.

yang pasti saya menikmati, apa yang tersisa dari sebuah rasa yang tertinggal.

Senin, 04 Oktober 2010

(Almost) Perfect




Saya tidak punya banyak kata, karena semua yang ingin saya katakan telah saya bisikkan langsung di telinga kamu hari ini.

Tapi yang pasti hari ini saya cukup senang, dan yang membuatnya hampir sempurna itu mungkin karena ada kamu di dalamnya.

Terima kasih, untuk semuanya.




Ps: We should do it again some other time *wink*

Sabtu, 02 Oktober 2010

Tentang Gundah



Kamu tahu, kadang masa lalu itu seperti hantu. Mereka datang begitu saja, melekat dalam pikir dan tak mau pergi. Mereka membebani langkah, mengikat kaki dengan rantai sampai kaki lekat dengan tanah. Mereka meracuni hati, mengkarati setiap kebahagiaan yang berhasil engkau ciptakan dengan susah payah. Seperti gelembung sabun yang ditusuki oleh jarum, seperti itulah bisa kau dengar nanah dihatimu pecah mengeluarkan bisa.

Saya tidak mengerti akan orang-orang perkasa yang berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Saya bertanya-tanya apa yang mereka lakukan sehingga telinga berhasil ditulikan dan mata seperti tertutup kain hitam. Saya tidak mengerti, orang-orang yang masih saja mampu menyusun keping kehidupan setiap kali badai datang dan menghamburkan segalanya.
Benarkah ada rasa benci yang begitu besar yang mampu menggerakan roda kehidupan? Atau mungkin ada kedamaian yang mampu menerbitkan sebuah kata ikhlas?

Saya tidak pernah membenci masa lalu saya. Mungkin mulut saya memang penuh makian, mungkin hati saya pahit dan jiwa saya keruh. Tapi untuk benar-benar membenci masa lalu saya rasanya tidak mungkin.
Bukan, bukan karena saya tidak punya cukup alasan. Bukan pula karena dia tidak pantas untuk saya sumpah serapahi. Tapi menurut saya aneh, membenci seseorang yang pernah kamu cintai setengah mati. Saya juga tidak pernah benar-benar bisa lupa. Karena seperti yang tadi saya bilang, masa lalu selalu punya cara untuk menyelusup masuk ke dalam kekinian.
Mungkin seperti wangi kopi pahit yang merasuki mimpimu.. menggugah sadarmu bahwa pagi telah tiba, dan kamu harus bangun.

Tapi kalau ada yang saya pelajari akhir-akhir ini mungkin adalah sebuah kenyataan bahwa hidup itu bukan sebuah film. Bahwa tidak pernah ada kata "rewind", "pause", atau "fast forward" dalam hidup.
Konsekuensi dari sebuah pilihan kadang tidak bisa kita anulir. Waktu-waktu berharga tidak bisa kita hentikan seberapa keraspun kita berusaha, dan luka? Tidak pernah ada jalan untuk memajukan waktu dan mengeringkannya dengan seketika.

Hidup adalah sebuah nyata. Bukan film 2 jam yang diakhiri oleh kata "dan mereka hidup bahagia selamanya".
Hidup adalah sebuah nyata, dan mungkin tidak pernah akan ada seorang pangeran yang mau bersusah payah menerobos hutan belantara hanya untuk mencium Sang putri tidur.
Hidup adalah sebuah nyata. Manusia itu kadang tidak khilaf. Mereka berubah pikiran.

Masa lalu itu adalah bagian dari saya.
Dan saya tidak punya tongkat ajaib untuk menghapus itu dari otak saya.
Saya hanya perlu mencari cara untuk berdamai dengan semuanya. Berhenti bertanya mengapa dan kenapa. Karena mungkin benar kata seseorang, sebuah jawaban hanya akan menimbulkan pertanyaan lain.

Karena kadang seseorang hanya berhenti mencintai, tanpa alasan.
Karena kadang manusia pergi, dan mereka tidak kembali.


Soekarno Hatta
- Dalam gundah yang datang tiba-tiba.

Jumat, 01 Oktober 2010

The Place



I know I will get to that place someday,
The place when smile is not only a fake gesture.

Kamis, 30 September 2010

The Quotes



I'm not broken. I'm just tired and it shows.

I think that quotes explains almost everything, full stop.

You know what I want to do?
What I really really want to do?
Creeps back, and sleeps.

Wakes me up, someday.

And NO, it's not blue.
It's black.

And NO, I'm not okay.
Just Don't ask me why.

Rabu, 29 September 2010

#Selfnote - 6




Choose one of the most appropriate scenarios:

1. Expectation kills;
2. Thats why we're not supposed to expect.
3. Or Hope for this matters.

OR

1. Explanation is not really needed;
2. Because when people want to leave there won't be an explanation good enough to make them stay.
3. That's why we should never look back.

OR

1. What that doesn't kill you just make you stronger;
2. So what you have to do is just take a deep breath
3. And allow no one else to ever hurt you again.

Selasa, 28 September 2010

#Selfnote - 5



Sometimes, what we want is not relevant.
What we have to do is just make peace.
And cherish everything that is here now.

Sabtu, 25 September 2010

#Selfnote - 4



There was a sentence that the Tarot lady said that's been bugging my mind from yesterday.

"You have to find yourself first, to know what you wanted to be, to be happy with yourself .. before you can find your true happiness"

Probably, I was seeing this whole problem of me from a different point of view.

I think I need to find my solitude, soon.

Ps: One thing I have to keep in mind probably is when people really care about you, they won't treat you like a shit. And I have to stop.. feeling like shit towards someone who doesn't even deserve my respect.

Kamis, 23 September 2010

The Start?



Saya sering bilang bahwa kita bertemu pada waktu yang salah. Percayalah, itu bukan omongan basa-basi, atau kalimat yang saya keluarkan karena saya ingin menarik perhatian kamu. Karena sungguh, saya berpikir andai saja kita bertemu pada rentang waktu yang berbeda, pada masa dimana semuanya masih mudah. Pada masa dimana hati saya belum retak, mungkin saat ini saya akan tersenyum lebih riang. Mungkin mata saya akan bersinar lebih cerah.

Saya juga sering berkali-kali memperingatkan bahwa saya tidak punya apapun lagi. Bahkan tidak ada lagi sepotong hati untuk mencintai. Dan itu sebuah kejujuran, karena apa yang tersisa di rongga dada itu cuma sebuah bulatan hitam. Dan saya pikir kamu pasti tidak suka, kalau saja saya jujur dan membuka kain kafan yang ada.

Tapi toh nyatanya kamu tetap ada disana, sampai hari ini. Tidak perduli seberapa seringnya saya kumat dan kemudian memarahi kamu karena menurut saya kamu bodoh. Tidak perduli seberapa kecewanya kamu karena saya sering kali melukai kamu dengan kata-kata saya.

Kamu tetap disana. Walaupun berulang kali saya katakan bahwa saya bahkan tidak bisa menjanjikan apapun kepada kamu. Karena bagaimana mungkin saya menjanjikan sesuatu, kalau saya saja bahkan tidak tahu apakah saya akan pernah bisa mempercayai janji lagi atau tidak?

Jadi ini saya, berusaha mengucapkan terima kasih kepada kamu.
Terima kasih untuk bersedia bertahan. Terima kasih untuk bersedia ada. Terima kasih untuk memilih membayar harganya. Saya tahu itu tidak mudah buat kamu, saya tahu kamu bahkan punya begitu banyak pilihan yang lebih baik di luar sana.
Saya hanya bisa berkata bahwa saya akan berusaha, supaya suatu hari nanti setidaknya akan ada cara yang cukup pantas dalam menghargai segala hal yang telah kamu lakukan untuk saya.

(Thank you, for not giving up)

Rabu, 22 September 2010

A letter to dear so, and so.



Dearest Gail,

Saya tidak pandai menulis surat perpisahan. Bahkan sampai detik ini pun tidak pernah benar-benar terlontar kata selamat tinggal dari bibir saya. Karena bagaimana mungkin saya mengucapkan selamat tinggal, kalau saya bahkan tidak bisa mengucapkan jaga diri kamu baik-baik dengan sempurna?

Saya mencintai kamu, Gail. Setidaknya saya pernah benar-benar mencintai kamu.
Saya mencintai kamu dengan cinta yang bahkan saya tidak tahu darimana asalnya. Saya mencintai kamu dengan begitu hebatnya sampai saya meniadakan semua logika, dan lupa berjalan di bumi. Saya bahkan mencintai kamu sampai saya rela menjungkirbalikan hidup saya hanya untuk mendapat secercah dari senyum kamu.
Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan berhenti mencintai kamu. Karena bagaimana mungkin? Kisah cinta antara kita dalah kisah cinta yang didengungkan oleh dongeng-dongeng. Kisah cinta yang seharusnya diakhiri dengan kalimat "dan mereka hidup berbahagia selamanya"

Selamanya, Gail.
Begitu pahit kata itu tereja di lidah saya.
Selamanya yang seharusnya bisa kalau saja kamu tidak memilih untuk membuang saya tepat pada saat saya bersedia melepaskan segalanya.
Selamanya yang tidak mustahil kalau saja kamu setia pada mimpi kamu. Pada mimpi kita.
Selamanya yang memaksa akhirnya memaksa saya untuk bangun dan mendapati bahwa kamu tidak layak untuk saya cintai, tidak layak untuk digilai.

Gail,
Saya tidak tahu bagaimana kita bisa sampai pada titik ini. Titik dimana saya bahkan tidak mengenali rupa kamu lagi. Bukan karena kamu tidak sekurus dulu, bukan pula karena kamu memotong dan meluruskan rambut kamu.
Hanya saja mata kamu, mata itu sudah tidak sama. Entah di titik mana, kebaikan yang dulu begitu saya puja sudah tidak ada lagi.
Gail yang dulu saya cintai, sudah mati ditelan dunia.

Gail, mungkin buat kamu semudah itu. Menghubungi saya, mengucapkan satu dua bahkan tiga kata maaf, untuk kemudian meminta saya kembali ke hidup kamu. Kamu bilang kamu butuh teman, kamu bilang kamu butuh saya.
Tapi pernahkah kamu berpikir apa artinya itu buat saya?
Pernahkah terlintas di otak kamu berapa banyak hari yang saya lalui dengan mimpi buruk?
Pernahkah kamu bayangkan betapa sulit hari-hari saya pada saat kamu memutuskan untuk membuang saya begitu saja?

Mungkin kamu tidak tahu, mungkin kamu tidak mau tahu, atau mungkin tidak pernah penting buat kamu untuk tahu. Karena yang saya tahu, apa yang penting buat kamu adalah yang kamu mau. Sisanya adalah gumaman tidak jelas, tentang kesedihan kamu, tentang masalah kamu, tentang kesulitan kamu.

Lalu bagaimana dengan masalah saya? bagaimana dengan kesedihan saya? bagaimana dengan kesulitan saya? dimana kamu pada saat saya berperang dengan semua itu? dimana kamu pada saat saya menangis dengan begitu hebatnya?
Kamu tidak ada disini, Gail.
Kamu disana, merancang masa depan kamu.
Kamu disana, menghilangkan semua bagian tentang saya.

Gail, saya minta maaf kalau hari ini saya memutuskan untuk tidak menjadi teman kamu dalam bentuk apapun. Bukan saya tidak perduli dengan semua masalah kamu, justru karena saya terlalu perduli saya memutuskan untuk pergi dari kamu.

Karena tidak adil, Gail.
Tidak adil membiarkan hati saya berdarah terus menerus.
Tidak adil membiarkan orang-orang yang menyayangi saya kuatir tentang keadaan saya. Tidak adil meminta mereka mentolelir kebodohan saya terus-menerus hanya karena saya dengan keras kepalanya tidak mau merelakan kamu pergi.
Tidak adil bagi orang-orang yang menunggu saya.
Bagi orang-orang yang benar-benar perduli dengan saya.

Kamu tidak pernah seutuhnya menjadi milik saya, Gail. Karena saya bahkan tidak yakin bahwa kamu tahu bagaimana caranya mencintai orang lain selain diri kamu sendiri.
Jadi maafkan saya, maafkan saya karena saya memalingkan wajah kali ini.
Percayalah, seberapa banyak pun yang saya beri, apapun yang saya coba usahakan untuk kamu .. itu tidak akan pernah cukup.
Jadi saya rasa, tidak ada gunanya lagi.

The Time



Tahukah kamu bahwa kadang hati itu ajaib?
Dia tahu dengan pasti apa yang waktu tidak tahu. Dia tahu dengan jelas apa yang cuma bisa diraba pikir.

Dan seperti itupun hati akan tahu, bahwa segalanya telah terlambat.
Luka yang ada terlalu besar bahkan untuk dijahit dengan ribuan kata.
Kepahitan menulang, merasuk, dan meracuni setiap pembuluh darah.
Cinta cuma sepenggal rasa, yang seperti parasit menyedot setiap apa yang tersisa di rongga dada.

Kamu pasti tahu apa yang saya bicarakan, kalau kamu memang pernah ada di titik itu.
Saat dimana masa lalu datang menghampiri, namun bahkan tidak ada kekuatan lagi untuk sekedar menjulurkan lengan.
Saat dimana matamu menatap nanar, karena apa yang bisa kamu lihat itu cuma setiap janji yang dirobek oleh dusta.
Saat dimana kamu mencari apa yang pernah kamu temui di mata itu, namun tidak bisa lagi kau dapatkan apapun di dalamnya.
Saat kata telah hambar, karena rasa percaya sudah tidak tersisa lagi.

Saya ada disana. Saat ini.
Dengan pikir yang berteriak agar saya pergi, dan hati yang masih belum mampu untuk merelakan.
Karena bagaimana mungkin semudah itu merelakan? mengakui bahwa memang kamu memilih orang yang salah. Mengakui bahwa cinta yang dulu pernah jadi segalanya buat kamu bahkan tidak berarti apapun untuk dia.

Saya ada disana.
Saat ini.
Dentum detik yang berbunyi seperti meriam yang ditembakan. Dan luka yang menyayat pelan-pelan sampai kamu tidak tahu bahwa kamu sedang menangis.
Menangisi masa lalu, menangisi apa yang telah pergi, menangisi apa yang tidak mungkin kembali.

Kalau kamu pernah ada disana, saya yakin kamu tahu.
Satu titik dimana pada akhirnya kamu tahu bahwa sudah saatnya merelakan.
Karena orang yang pernah kamu perjuangkan mati-matian itu, sudah tidak ada lagi disana.

Sabtu, 18 September 2010

The Smile.



It's kinda lame, or cheesy.
You name it.
But there is something about you that makes me smile.
I hope I have the same effect on you ;)

<3

The Friendship



Semua orang yang kenal saya dengan baik tahu dengan pasti bahwa saya tidak punya "gift" untuk berteman. Selain untuk urusan pekerjaan, saya bahkan tidak tahu bagaimana caranya mendekati orang asing. Dunia yang nyaman buat saya ya dunia kecil yang saya bangun. Tak banyak yang bisa masuk, apalagi bersama-sama duduk di "sofa".

Dalam hal menentukan apakah seseorang dapat masuk ke dalam dunia saya, saya semata-mata mengandalkan perasaan. I believe in intuition, I believe in feelings. Dan feeling saya, jarang meleset.

Saya percaya penilaian pada kesan pertama. Tidak harus lewat perjumpaan, bisa saja hanya lewat untaian kata. Tapi buat saya, chemistry itu penting. Sangat penting.
Saya bisa saja jatuh cinta pada seseorang yang rupanya belum berbentuk, saya bisa saja antipati pada seseorang karena saya tidak suka tingkahnya. Semuanya subjektif. Tapi saya rasa itu hak saya.

Hanya perlu sesaat, untuk memilah apakah orang tersebut akan berlabel kenalan, kawan, karib, atau kekasih. Sekali lagi, saya percaya chemistry. Saya percaya intuisi.

Mungkin kalian bertanya-tanya, kalau saya merasa saya hampir tidak pernah salah memilih, mengapa saya putus cinta? Bukankah kisah cinta yang tidak berhasil itu berarti pilihan yang salah?
Sebenarnya tidak juga. Pada saat saya memasukan seseorang ke dalam suatu kotak yang saya labeli "kekasih", saya tidak salah. Karena setiap kekasih saya turns out to be a good lover, a magnificent one perhaps.
Dan kalau pada akhirnya hubungan kami tidak berhasilpun itu bukan berarti bahwa lover's chemistry itu tidak pernah ada.
Tidak semua love stories itu akan berlangsung panjang, atau bahkan selamanya. Some love stories destined to be a short one, but it is still a love stories.

Tapi hari ini saya bukan sedang ingin bicara soal kekasih, atau soal patah hati. Saya ingin bicara tentang rasa lain, tentang persahabatan.
Like i said before, i dont have much friends. Mungkin itu sebabnya saya tidak mau membuat "buku wajah" a.k.a facebook.
Seseorang mengkritik saya kemarin. Dia bilang saya sombong. Saya tidak pernah mau menghadiri reuni teman-teman sekolah saya. Buat saya reuni mengenang masa lalu itu tidak penting. Orang-orang yang berarti buat saya, teman-teman dan sahabat yang penting untuk saya, jaraknya cuma sejangkauan telepon. Saya tahu nomor mereka, saya bisa menemui kapanpun mereka sempat. Sisanya tidak penting.

But lately I've been making few more friends. Saya memperluas dunia saya, menambah beberapa buah sofa dan mempersilahkan beberapa nama baru hadir dalam hari-hari saya.
Saya bahkan tidak tahu apakah ini adalah cara yang tepat untuk membuat saya utuh kembali. Tapi yang saya tahu beberapa dari mereka berhasil membuat saya merasa lebih baik. Beberapa dari mereka membuat saya merasa bahwa hidup terus berjalan, dan saya masih punya begitu banyak hal di masa depan.
Tapi yang pasti setiap dari mereka, dengan keunikan masing-masing membuat saya belajar mengenal diri saya sendiri.

Hari inipun saya bertemu dengan satu orang baru lagi. Seorang cakap, di usia hampir 40 tahun. Dan lagi-lagi sebuah pembelajaran. Kali ini topiknya tentang mengenali diri sendiri, tentang tahu apa yang kita mau, apa yang kita bisa, dan kelemahan kita.
Topiknya tentang passion. Passion of making something better, passion of contributing something to society. Passion of being alive, no matter how bumpy is the road.

Ternyata mungkin benar, at some point in your life, you should start reaching out. Belajar dari sekitar kita.
And at the end of the day, being someone better.

(As we grow up, we don’t lose friends. We just learn who our real ones are.)

Jumat, 17 September 2010

The Decision



Rasanya saya sudah tidak kuat, kalau harus berjalan dalam ranah ketidakpastian.
Saya benci abu-abu. Hal-hal yang tidak jelas, antara putih dan hitam.
Saya benci menerka-nerka. Tahukah kamu kenapa? Karena ketidakjelasan mudah diputarbalikan, lidah tidak bertulang, dan pada akhirnya yang tersisa itu cuma segenggam kata maaf.
Kata maaf yang bahkan tidak bisa membayar apapun. Kata maaf yang cuma melegakan sang pengucap, tanpa mampu menyambung patahan hati.

Jadi saya memilih untuk tidak menjadi pelakon. Bukan figuran, apalagi pemeran utama.
Saya duduk diam saja, di kursi penonton.
Memperhatikan sulaman pada tirai, menyaksikan drama tiga babak, dan bertepuk tangan keras-keras pada saat waktunya encore.

Karena saya dengan berat hati memutuskan menolak menjadi bagian dari keramaian. Dan juga meniadakan apa yang hening.
Membiarkan sekali lagi cinta menemukan jalannya sendiri.
Dan merelakan rentang waktu mencari jawaban, apakah saya dan dia akan pernah ada di sisi yang sama.

Dan kalau saja saya hanya menjadi sekedar pengisi waktu luang, maka saya akan memalingkan kepala dan berlalu.

(I let you decide)

Kamis, 16 September 2010

The Gambling



I rolled the dice.
Let's see how it pans out.

Tentang kekinian




Rasanya seperti memandang cermin, ada namun tak kasat mata.
Dengan tangan memegang timbangan, dan hati yang entahlah apa bentuknya.
Saya mulai menakar, memilah, dan menimbang. Merapal mantra-mantra, walau tidak tahu apa tujuannya.

Beberapa bulan terakhir ini saya berubah. Bahkan karib saya bilang dia tidak lagi mengenali saya. Dia bilang saya tidak punya semangat hidup, walau tetap tertawa terbahak-bahak. Dia bilang mata saya masih terluka, walau saya masih adu tinju dengan dia.
Dia bilang saya lemah. Si lemah yang sok kuat. Si bodoh yang tidak pernah pintar.
Dia bilang saya hanya ahli berpura-pura, manusia sejuta topeng.
Dia bilang saya pembohong ulung, penipu tingkat tinggi.
Saya cuma tertawa, sembari memakinya lebih kencang lagi.

Dia karib saya, teman dari sewaktu saya muda dulu. Sahabat yang bahkan tanggal lahirnya saja saya tidak pernah tahu. Buat saya tidak penting, karena setiap pertemuan kami adalah perayaan. Dan tidak perlu ulang tahun, untuk mabuk gila-gilaan.
Dia karib saya, yang selalu bisa menyambung ujung lidah saya. Yang memeluk saya begitu eratnya pada saat saya hampir gila. Yang tak segan mencaci, karena dia perduli.

Saya sering berkata, bahwa dia seperti lubang hitam di angkasa. Dia menenggelamkan semua kesah saya. Dia menyulap semua cerita saya, menempatkannya dalam kardus-kardus kecil untuk kemudian woosh.. diterbangkannya ke sudut yang paling gelap.
Dan kalau dia bilang saya belum baik-baik saja, maka saya percaya bahwa memang saya belum baik-baik saja.

Sebenarnya saya masih berfungsi. Saya bahkan sudah mulai mencicil pekerjaan, sudah bangun lebih siang, sudah merancang acara nonton untuk akhir minggu. Saya juga tidak lagi banyak bersedih, tidak lagi bolak-balik mengecek apakah nama dia masih ada di tempatnya. Saya bahkan sudah berkata bahwa saya akan mulai mengabaikan. Hidup di masa kini dan bukan di masa lalu.

Tapi ya itulah, saya masih harus mempasrahkan semua pada waktu. Karena waktu menyembuhkan, suka atau tidak suka.
Belajar untuk membersihkan pikiran, menenangkan hati. Ikhlas, kata "guru" saya.

Dan seperti teman-teman lain yang sekarang masih berusaha untuk bangkit, saya tidak sendiri. Saya bukan manusia paling malang di dunia ini. Karena patah hati itu biasa, jutaan orang lain bahkan lebih menderita dari itu. Saya hanya harus lebih bersyukur, bahwa saya tahu sebelum semuanya terlambat.

Ya, mungkin pada akhirnya saya tidak akan pernah bisa kembali ke diri saya yang dulu lagi. Karena biar bagaimanapun pengalaman mendewasakan, dan setiap bekas luka yang ada itu membuat kita belajar. Belajar untuk berhati-hati, belajar untuk tidak mudah percaya, belajar untuk menaruh porsi yang tepat pada orang yang tepat.
Mungkin mata saya tidak akan pernah secerah dulu lagi, mungkin juga senyum saya tidak akan pernah setulus itu lagi. Tapi saya yakin pada akhirnya saya akan sampai pada satu tempat dimana saya merasa cukup.
Dan dengan cukup yang saya punya, saya bahkan tidak akan menengok ke belakang lagi.

Jadi, mari berjuang!

Rabu, 15 September 2010

#Selfnote - 3



"The opposite of love is not hate, it is ignorance"

I think this is the most brilliant quote that I've ever read.
So instead of wasting my time trying to find a way to hate, I think I'll ignore.
And start living my life.

Today, for the very first time in years .. I slept upstairs 'till almost nine.
Without waking up.
And it feels allright.
It feels, liberating.

Selasa, 14 September 2010

The Conversation



Today,
Two in the morning
"Belle, I'm still not sure"

The truth is,
I know. I have guessed. I understand.
And yes, sometimes my judgement is right.
That's why I told you, I'm no good for you.

So I get it if you want to fly away,
Because you might not like what you see.
How can you handle bruises, when you don't even know where to go?

Everyone leaves eventually, and that is the cold harsh truth.
Just close the door as you leave.

-------

Today,
Four in the morning.
"Belle, Don't be too hard on yourself"

The truth is,
I have to.
I have no other option.
Because life is not a fairy tale.
And there won't be a knight to rescue a damsel in a distress.

And yes, I've changed.
I am no longer a Belle that you knew years ago.
That Belle is long dead.

And no, you don't get to judge me.

-end-

(I still hear a crack, here .. inside my chest)

Minggu, 12 September 2010

The Day



I may regret today, or may not.
I'm not sure.
But it's been quite some time since I'm sure about something.
So it doesn't really matter, i think.
So I let today being the first big step towards tomorrow.
The first big step towards leaving the past, leaving her.
Like what one ever said to me, "forgive, and let go".
This is me, trying to let go.
As for the forgiveness, I know I'll get there someday.

Karena siapa saya, sehingga patut meminta begitu banyak pada Sang Maha?

Sabtu, 11 September 2010

Ndru-



Hey Kamu,

Saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan sampai di titik ini bersama kamu. Setelah sekian lama kita saling menjauhi satu sama lain, ternyata pada akhirnya kita ada disini. Berdiri bersebelahan, dengan bahu saling menopang.

Kita memulai semuanya dari pertemuan yang asing di dunia maya, dilanjutkan dengan tiga tahun penuh kembang api warna-warni, untuk kemudian diakhiri dengan begitu banyak tangis dan caci maki. Dan kalau saya boleh jujur maka saya hanya ingin bilang bahwa apa yang pernah kita punya bertahun-tahun yang lalu, masih saja selalu membuat saya tersenyum.

Hidup memang menyimpan begitu banyak alur kisah. Karena itu sungguh tak tertebak bahwa saya dan kamu akan berteman saat ini. Saya masih ingat masa-masa dimana kamu menghancurkan hati saya dan saya menangis tersedu-sedu berminggu-minggu. Ratusan hari yang saya habiskan untuk mencari cara melupakan kamu, ratusan mimpi buruk yang membuat saya begitu membenci kamu.
Saya bahkan hampir putus asa, karena saya berpikir bahwa saya akan mati dengan sengsara.

Kamu tahu, kamu mungkin bukan saja kekasih saya lagi. Tapi kamu, punya tempat spesial dalam hati saya. Dan hampir tidak ada orang lain yang lebih saya percayai dari kamu. Entah bagaimana caranya sayapun tidak mengerti. Tapi cinta yang pernah kita punya mengkristal dengan begitu indahnya, berubah bentuk menjadi rasa persahabatan yang lebih tulus. Dan saya tidak pernah berhenti, mengucap syukur untuk satu kali lagi kesempatan berbagi hari bersama kamu.

Kamu,
Saya belum pernah mengucapkan terima kasih kepada kamu. Terima kasih untuk membuat saya tertawa, untuk ada buat saya.
Untuk telinga yang mendengarkan setiap kesah saya, dan hati yang tak pernah lekang untuk peduli.
Terima kasih untuk tidak pernah jemu mengingatkan bahwa tidak semua hal adalah kesalahan saya. Dan bahwa ada sebagian hal yang memang lebih baik untuk dilepaskan, untuk dilupakan. Dan bahwa saya sangatlah patut untuk dicintai.

Bersama kamu, saya selalu punya harapan. Bahwa setiap hal buruk yang saya alami saat ini akan berlalu. Dan suatu saat nanti seperti saya berdamai dengan kamu, saya juga akan berdamai dengan dia.

Time heals, I just need to give time to time.

Thank you, ndru :)

The Stupidity



It's funny to think of the fact that sometimes people are so consumed with their stupidity that they're willing to give their heart to someone else though they know that at the end, that other person will fail them too.