Senin, 30 Agustus 2010

#Selfnote - 1



The truth is, Everyone is gonna hurt us.
We just gotta find the ones worth suffering for.



*are you happy?

Little red heart



I want to paint little red hearts all over your body. Because I want you not to, forget me.

Be brave, I want you to be brave. Thats all.

Minggu, 29 Agustus 2010

Cinderella



Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan lagi. Karena kalau memang cinta seharusnya menghasilkan petarung-petarung dengan kepal tinju yang teracung, maka saya berdoa bahwa ini bukan sebuah cinta.
Karena semuanya lagi tak sesederhana dulu. Dan kewarasan adalah sebuah keharusan.

I am not a princess. I don't even have a glass shoes.

The Choice



Kamu tahu, rasa kadang bicara dengan cara yang ajaib. Serupa kelinci putih yang keluar dari topi pesulap, demikian pula kadang kita tidak tahu darimana asal dari rasa yang menyelusup hadir ke dada.

Saya tidak pernah menginginkan rasa. Apalagi rasa yang membawa sejuta topan badai.
Saya cuma ingin duduk sesaat, menikmati dunia kecil saya yang masih tersisa diantara tepukan debu. Saya terlalu lelah, untuk berjuang apalagi berperang. Saya lelah bertanya dan berharap. Tapi disana saya, bertanya lagi.. dua hari yang lalu.

Dan disana kami berada. Diantara tumpukan kata, helaan nafas, sejumlah emoticon. Bahkan belum ada bayang, karena tidak boleh. Jangan dulu.

Dia menjawab, saya meng-iya-kan. Memang sudah selayaknya seperti itu, sudah sepantasnya. Yang tidak perlu terkatakan, tidaklah usah dikatakan. Yang berupa tanda koma akhiri saja dengan tanda titik. Tidak perlu tanda tanya besar. Tidak perlu ada masa depan. Yang perlu hanya sekarang dan masa kini. Karena masa lalu sudah mengabu, dan masa depan adalah sebentuk doa.

Dia bertanya, saya tidak menjawab. Karena untuk apa? tidak semua pertanyaan butuh jawaban. Dan tidak semua rasa berhak keluar. Anggap saja ini sebentuk janin yang mati karena rahim sudah dingin. Anggap saja ini rahasia, yang tak perlu diterjemahkan lewat bahasa.

Lalu kami berjanji. Saya, dia, dan rasa yang sudah bernama. Persahabatan. Dua jari kelingking yang ditautkan. Pilihan untuk menapak di bumi, alih-alih terbang untuk kemudian terhempas lagi.

Seperti kata saya, ini memang sudah seharusnya. Sudah selayaknya. Sudah sepantasnya.
Yang lain lupakan saja. Karena setiap menit dari hidup adalah sebuah pilihan, dan ini adalah pilihan saya dan dia.

(we're gonna be fine, I promise).

Sabtu, 28 Agustus 2010

Normalcy



Here,
In a country far away from home.
At last, I am (almost) feel normal.

Kamis, 26 Agustus 2010

The Fate



Buat kamu, yang belum dan entah kapan akan bernama.

Kamu percaya takdir?
Dulu saya tidak percaya. Saya tidak percaya bahwa Tuhan dengan segala kerepotanNya akan punya waktu merancang garis nasib setiap orang. Lagian siapa kita, hingga Dia mau meluangkan waktunya? Karena itu saya percaya segala sesuatu bisa diperjuangkan.
Kalau kita tidak menyerah, kalau kita tak pernah putus asa dan terus saja berusaha, maka tidak ada yang tidak mungkin.
Saya percaya manusia adalah mahluk yang kuat. Diciptakan punya sejuta akal oleh Sang Maha. Saya percaya manusia beradaptasi, bergerak maju dan berevolusi. Kita bukan si kalah, kita bukan si buntut, apalagi pecundang.
Karena itu dulu saya punya banyak mimpi. Untaian harap yang saya gantungkan di bintang-bintang. Mata menatap tajam, kaki yang melangkah pasti.. Saya yakin, pasti bisa terbang dan menggapai asa.

Kamu percaya dongeng?
Saya bukan hanya percaya dongeng. Saya dibesarkan olehnya. Sebut saja sebuah kisah, maka saya akan ceritakan hasilnya. Dan kalimat yang saya suka, tak lain dan tak bukan "dan mereka hidup bahagia selamanya".
Bahkan dulu saya sering berpikir, bahwa saya adalah si putri.

Tapi itu dulu, waktu dunia saya masih merah jambu. Dan mata saya masih cerah.
Itu dulu, sebelum bahkan saya mengenal kamu.

Sekarang saya percaya takdir, dan muak akan dongeng.
Seperti takdir kita yang bersilangan pada saat yang tidak tepat, seperti mimpi yang terburai seperti usus babi di rumah jagal. Karena sesungguhnya, saat ini semua sudah berubah. Dunia saya bukan lagi terdiri dari gula-gula kapas, dan saya sudah sadar bahwa saya bukan Sang putri.
Saya sadar bahwa ada kekuatan di luar saya, ada tembok yang tak mungkin lagi saya robohkan. Saya sudah menunggu selama 28 tahun, dan saya sudah memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi.

Kamu tahu dongeng tentang benang merah tak kasat mata yang terikat di antara kelingking sepasang kekasih? Saya pernah percaya itu. Saya bahkan pernah yakin saya telah menemukan di ujung sebelah mana benang itu tersimpul.
Tapi nyatanya itu sebuah kebohongan. Karena tidak ada sesuatu yang konstan, demikian juga rasa. Dan tidak ada yang boleh saya percayai, termasuk juga kamu.

Jadi saya putuskan untuk tidak menamakan rasa ini. Mungkin kamu tidak bisa mengerti sekarang, tapi percayalah, suatu hari nanti kamu pasti akan berterima kasih.


Senin, 16 Agustus 2010

The Dreams



I once had this dreams,
A white gown, a priest, a bouquet of violet roses.
A song by Bocelli, princess cut Tiffany ring.
With someone that I love standing right beside me.

I promise to give you the best of myself and to ask of you no more than you can give.
I promise to accept you the way you are.

I fell in love with you for the qualities, abilities, and outlook on life that you have, and won't try to reshape you in a different image.
I promise to respect you as a person with your own interests, desires, and needs, and to realize that those are sometimes different, but no less important than my own.

I promise to keep myself open to you, to let you see through the window of my personal world into my innermost fears and feelings, secrets and dreams.

I promise to grow along with you, to be willing to face change as we both change in order to keep our relationship alive and exciting.

And finally, I promise to love you in good times and in bad, with all I have to give and all I feel inside in the only way I know how ... completely and forever.


I once had this dream, just before she told me that she didn't want the same dream anymore.

Minggu, 15 Agustus 2010

Missing



Dearest Abigail,

I miss you. Very much.
Tapi tenang saja, saya ga akan ganggu hidup kamu lagi. As I promised you.
It just that tonight, I miss you terribly. And I couldn't stop thinking about you.
Seharusnya 5 hari lagi, sampai hari pertemuan kita yang kesekian. But I cancelled it, and you said nothing againsts it.

Gail,
Mungkin perlu waktu yang cukup lama.. untuk berdamai dengan semua ini. Kenyataan bahwa kamu tidak ada lagi disini. Kenyataan bahwa semua sudah hilang entah kemana. Kenyataan bahwa ternyata cinta, memang tidak berarti apapun.
Tapi I know I'll get there, Gail.
Saya yakin pada suatu hari nanti, kalau saya terus berusaha merangkak, kalau saya tidak putus asa.. maka saya akan sampai pada satu titik, dimana semua ini tidak lagi begitu menyakitkan.

Saya mungkin tidak akan pernah bahagia lagi. Tapi mungkin kalau saya cukup sabar, saya akan sampai pada suatu kondisi dimana kebahagiaan tidak akan menjadi hal yang penting lagi untuk saya.

Tapi apapun yang terjadi pada saya, saya ingin kamu berjanji bahwa kamu akan bahagia disana. Kamu akan meraih setiap kesuksesan yang begitu penting untuk hidup kamu.
Kamu harus bahagia untuk saya, dan terlebih.. kamu harus bahagia untuk diri kamu sendiri.

Kamu selalu bilang bahwa kita bukan apa-apa tanpa pekerjaan kita. Tapi buat saya, itu tidak tepat. Karena kalau kamu tahu, setiap hal yang saya kerjakan disini, itu untuk kamu. Apa yang mati-matian coba saya wujudkan disini, itu untuk kebahagiaan kita nantinya. Dan tanpa kamu, apa yang saya punya tidak lagi berarti. I thought you feel the same way too.

Seseorang berkata bahwa mungkin saya mencintai orang yang salah. Saya tidak tahu. Benarkah saya salah mencintai kamu? Benarkah bahwa selama ini saya membutakan mata saya hanya karena saya tidak ingin kehilangan kamu? I don't know. But I onced trust you. I onced trust you with all of my heart. I thought you trust me too.

Gail, suatu hari kamu pasti tahu. Suatu hari kamu pasti mengerti. Dan kalau sampai saat itu tiba, saya hanya berharap bahwa kamu masih punya jalan untuk kembali.

Until then, please take care of yourself.

Jumat, 13 Agustus 2010

Tentang sang kodok



Saya sedih hari ini.
Sesungguhnya mungkin tidak tepat, karena toh setiap orang berhak menentukan jalan hidup mereka sendiri. Dan siapa saya, sehingga berani mencoba untuk menggurui orang lain?

Mungkin saya hanya terlalu perduli, karena seperti kata dia.. sesama klub "bitter" harus mau saling menopang. Kalau bukan kita yang men-"support" satu sama lain, siapa lagi?

Tangan ini gatal menjitak kepala botaknya, lagian dia masih lebih muda dari saya. Jadi pastinya itu bukan kategori kurang ajar, kan?
Saya cuma bingung mengapa dia tidak mau bercermin dari kisah saya. Padahal saya sudah bercerita cukup banyak. Seharusnya dia bisa belajar, karena sungguh.. uang sekolah yang saya bayar mahal harganya. Dan saya tidak mau, kalau dia harus membayar pelajaran yang sama.

Hal pertama mungkin tentang melepaskan.
Saya masih terheran-heran, tentang betapa mudahnya seseorang melepaskan. Apakah memang segampang itu, untuk dikalahkan oleh rasa takut?
Kenapa sebagai manusia kita tidak sedikit berani, menantang badai dan berjudi.
Apakah memang kita harus sepasrah itu, dan menyerahkan semuanya pada Tuhan dan hidup?
bukankah kita manusia, yang harus mampu menentukan takdir diri sendiri?

Saya mungkin bukan orang pintar. Tapi saya rasa saya cukup tahu apa yang saya mau. Dan andai saja waktu itu dia memilih saya, maka saya rasa selamanya bukan hanya ada di negeri dongeng.
Tapi mungkin saya memang aneh, oleh sebab itu jarang ada yang bisa mengerti.
Mereka menyebutnya naif, sebagian menyebutnya bermimpi.
Tapi sebenarnya saya bukanlah naif atau seorang pemimpi. Saya hanya seseorang yang memilih, untuk mendengarkan kata hati.

Tapi ya sudahlah, saya percaya kamu bukan orang bodoh. Jadi kalau ini keputusan kamu, maka sebagai sesama anggota geng saya hanya berharap bahwa perjalananmu ini, akan membawa kamu ke tempat dimana kamu mau berada.

Jaga diri kamu baik-baik. Ingatlah bahwa apa yang tidak membunuhmu, seharusnya membuat kamu menjadi lebih kuat.

Rabu, 11 Agustus 2010

Broken



Dearest Gail,

Sebenarnya saya sudah tidak ingin lagi menulis. Karena untuk apa juga? menulis buat saya hanya menambah kesedihan belaka. Dan saya, sudah berjanji akan berusaha untuk bahagia. Apapun caranya.

Ini entah sudah hari keberapa saya lalui tanpa kamu. Saya sudah tidak lagi menghitung. Karena untuk apa juga? Tidak ada lagi yang saya tunggu. Tidak ada lagi janji untuk bertemu. Semuanya kita akhiri dengan tanda titik. Tanpa koma, atau tanda seru, ataupun tanda tanya.

Gail, di surat terakhir saya, saya berkata bahwa kamu kalah. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, bukan cuma kamu yang kalah, saya juga. Saya kalah karena saya gagal menggenapi janji saya, 50 purnama bersamamu. Saya kalah karena bahkan ini belum lagi bulan keduabelas, nyatanya jalan sudah tertutup rapat, entah oleh apa.

Gail, sejujurnya saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan tanpa kamu. Mungkin itu sebabnya, dengan begitu kekanakan saya berusaha menarik-narik baju kamu supaya kamu tidak pergi. Sejujurnya saya tidak pernah membayangkan saya akan sampai pada titik ini. Titik dimana saya tidak punya kamu. Titik dimana kamu, tidak ada dimanapun.

Saya selalu berpikir bahwa selalu akan kita. Mungkin sampai tahun kelimapuluh nanti, saat umur saya sudah 70 sekian dan umur kamu sudah 80 sekian. Saya selalu bermimpi bahwa pada saat itupun, meski mata kita sudah lamur kita akan tetap punya cinta yang jadi bara di dada. Saya bermimpi, bahwa akan ada dua makam bersebelahan, dengan namamu dan nama saya terpahat disana.

"Abigail dan Bellisima"
Ashes to Ashes, Dust to Dust
Forever in love


Itu yang saya bayangkan akan selalu diingat teman-teman kita. Bahwa kita adalah dua orang, yang dipertemukan oleh kata di suatu masa, dan mencintai sampai maut memisahkan kita. Itu yang saya pikirkan, sewaktu saya mengucap janji di depan Tuhan-mu, hampir 2 tahun yang lalu.

Gail, hari ini seorang teman meminta saya menulis tentang kepahitan. Dia menantang saya untuk membuka semua luka hati, menyiramkannya dengan kata sehingga banjir menjadi kalimat. Sesungguhnya saya tidak mau menulis tentang luka, cin. Karena saya ingin selamanya mengingat kamu sebagai wanita yang mencintai saya tanpa cela. Dan saya sungguh tak punya daya, untuk sekali lagi meraba luka dan mengeja derita.

Tapi janji adalah janji. Dan ini tulisan saya, sebagai usaha untuk menepati pertaruhan saya.
Jadi izinkan saya memulainya dengan berkata bahwa saya kecewa terhadap kamu. Kamu mengecewakan saya bahkan setelah saya memberi kamu puluhan kali kesempatan untuk menyesal, dan begitu banyak waktu untuk berpikir.
Saya membenci kepengecutan kamu, saya membenci ketakutan kamu, saya membenci harga diri dan ego kamu.
Saya tidak pernah menyangka bahwa kamu memilih untuk mengorbankan saya demi menyelamatkan semuanya. Padahal kalau kamu ingat, kamu pernah berkata bahwa apapun yang kamu punya, tidaklah berarti tanpa saya.
Saya membenci wanitamu. Tapi lebih daripada saya membenci dia, saya membenci kamu.
Saya membenci semua yang kamu punya. Tapi lebih daripada itu semua, saya membenci kamu. Karena kamu membiarkan semua hal memisahkan kamu dengan saya, dan kamu.. tidak melakukan apapun untuk membela saya.
Seperti yang saya bilang, Gail. Saya tahu manusia berubah, tapi kamu adalah orang terakhir yang saya pikir akan berubah.
Dan mungkin karena itu, lebih daripada saya membenci kamu, saya akan membenci diri saya sendiri.

Tapi ya sudahlah, Gail.
Itu mau kamu, dan seperti kata kamu, cinta tidak bisa lagi dipaksa. Jadi seperti yang saya janjikan kepada kamu, saya tidak akan menganggu hidup kamu lagi.
Saya juga sudah tidak mau lagi memaki, apalagi bertanya mengapa, kenapa, dan andai saja. Saya bahkan sudah bosan mengingat tentang kamu. Buat saya sekarang, cinta itu hanya seperti permen karet, yang diludahkan ke tempat sampah setelah rahang kita bosan mengunyah.
Jadi mungkin setelah ini, saya akan mencungkil hati saya. Menyerahkannya pada anjing dan babi-babi liar di luar sana.
Karena untuk apa lagi?

Jadi selamat tinggal, Gail.
Seperti apa yang saya bilang kepada kamu berulang kali. Semoga apa yang kamu lakukan terhadap saya, benar-benar bisa membuat kamu bahagia.

I hope it's worth it, Abigail.
I hope it's worth it.