Rabu, 21 Juli 2010

One Step At A Time



Membaca postingan Denny, Jadi ingat kalau saya juga suka bilang "one step at a time".
Setidaknya itu yang coba saya lakukan, beberapa hari terakhir ini.
Saya masih patah hati, masih juga jatuh cinta.
Saya masih bersedih, masih marah, masih juga kecewa.
Saya masih menangis, masih teringat, dan masih juga suka bengong.
Tapi setidaknya saya masih mencoba untuk kuat, menjalani satu hari demi satu hari.

Kalung dari dia masih bertengger di leher saya. Parfum kesukaan dia juga masih ada di meja dandan saya. Tapi semua telepon saya matikan, menyisakan satu nomor yang masih saya pakai untuk pekerjaan saya.

Bukan, bukan membenci. Bukan pula ingin melupakan. Karena rasanya, membenci dia itu hal mustahil, apa lagi melupakan dia.
Saya hanya ingin mencoba menata hati, menyapu pecahan-pecahan mimpi yang berserakan di dada.

Untuk yang bertanya mengapa saya mematikan telepon saya, jawabannya sesederhana karena saya lelah menjadi orang paranoid. Bolak-balik mengecek status, bertanya-tanya apakah yang dia tulis itu untuk saya. Saya benci kecewa setiap kali dering terdengar dan itu bukan dari dia. Saya benci bersedih karena saya tidak pernah putus untuk berharap.

Seperti yang saya katakan tadi, "one step at a time".
Hari ini saya cuma melarikkan harap, bahwa saya bisa tidur dengan nyenyak tanpa memikirkan dia.

What I have to do is just making a smell step, every single day. One step at a time.
Probably I won't get to happiness, but I believe that someday .. I'll get as close as possible to it.


1 komentar:

  1. kadang kemampuan untuk bisa menerima sesuatu yang gak mau kita terima sama sekali itu yang paling penting untuk dipelajari.

    :)
    goodluck fighters.

    BalasHapus