Kamis, 15 Juli 2010

Tentang Edward, dan tentu saja Bella



Semua orang yang saya kenal tahu betapa tergila-gilanya saya pada kisah cinta karangan Stephanie Meyer itu. Saya menghabiskan ribuan lembar halaman dalam waktu dua hari, begitu terus semua buku saya lalap habis.

Awalnya saya tidak tertarik, sampai akhirnya komplimen demi komplimen tentang kisah cinta antara vampir laki-laki dan wanita smu ini membangkitkan keingin-tahuan saya. Saya penasaran. Ternyata memang buku ini sangat menarik, dan mereka tidak mengada-ada. Setelah beberapa lembar halaman pertama, saya larut dalam kisah cinta luar biasa antara mereka, sang vampir dan si manusia. Edward dan Bella.

Saya jatuh cinta dengan cara mereka mengekspresikan kerinduannya, saya jatuh cinta dengan kata demi kata yang keluar dari mulut mereka. Saya jatuh cinta, pada cinta mereka, pada kutukan mereka, pada keinginan mereka, pada impian dan nafsu mereka. Saya bahkan jatuh cinta, pada penderitaan mereka.

Lembar demi lembar saya lahap dengan rakus, kalimat demi kalimat memborbardir isi kepala saya, saya tertawa bersama mereka, saya menangis bersama mereka. Saya merasa, saya menjadi mereka. Saya Bella, yang mencintai Edward saya.

Edward versi saya bukan sesosok vampir berkulit putih, bermata hitam kelam, dan berambut coklat kemerahan. Edward versi saya hadir dalam sosok seorang wanita sederhana yang punya garis wajah keras dan mata yang menembus jauh ke dalam jiwa saya. Mungkin persamaanya adalah, Edward versi saya juga seorang vampir, walau bukan dalam arti harafiah. Dia hanya punya hati yang dingin, penuh luka, tanpa jiwa, setidaknya itu yang saya rasakan kali pertama saya berkenalan dengannya. Dan satu hal lagi, seperti Bella, saya juga mencintainya dengan cinta yang teramat dalam dan tanpa syarat, walau saya tau .. cintanya mampu membunuh saya.

Kisah ini bukan lagi kisah fiksi tentang Sang vampir dan si gadis pemimpi. Ini kisah tentang Edward, dan saya. Dua manusia dengan begitu banyak luka di hati. Ini sebuah memoar tentang cinta terlarang, cinta yang tidak seharusnya ada namun dengan kekeraskepalaanya tetap tumbuh untuk jadi rimbun. Ini sebuah tulisan, tentang perjalanan, dimana tidak pernah ada jalan kembali tanpa menjadi remuk dan hancur.

Aku capek berusaha menjauh darimu. Jadi aku menyerah. Menyerah berusaha bersikap baik. Sekarang aku hanya akan melakukan apa yang aku inginkan, dan membiarkan semuanya terjadi sebagaimana mestinya.

Seperti Bella yang terkesima kali pertama dia melihat Edward, seperti itulah perasaan saya pertama kali saya mengenal dia. Ada satu aura yang tidak bisa saya jelaskan yang menarik saya dengan begitu rupa untuk mendekat kepadanya. Kami bagai magnet yang saling tarik menarik. Semakin kami berusaha untuk melepaskan diri, semakin serpihan demi serpihan dari hati kami melekat menjadi satu. Seperti Bella dan Edward yang tak kuasa saling menghindari, seperti itulah kami tak kuasa saling menjauhi.

Segalanya begitu kuat, segalanya tak terelakan, perjumpaan pertama, kecupan pertama, pelukan pertama, persetubuhan pertama. Segalanya begitu indah, luar biasa dan memabukkan. Kami bahkan sudah lelah untuk berusaha mengingkari segalanya, karena bagaimana mungkin? segalanya begitu nyata, bahkan diantara realitas yang sedemikian absurdnya pun ini masih terlampau mengikat untuk dilepaskan.

Dan Seperti Edward yang dikutuk untuk mencintai Bella si manusia fana, dan Bella yang dikutuk untuk tua dan mati tanpa bisa memiliki Edward sepenuhnya, demikian pula kisah cinta saya dengan "Edward". Cinta kami tumbuh layaknya kutukan yang tidak bisa dipatahkan. Bagaikan dua sisi kepingan mata uang logam, cinta antara saya dan dia berkembang hebat begitu cepat seiring dengan kepedihan yang menyertainya. Tidak pernah ada tawa murni yang tidak dihiasi kesedihan, tidak pernah ada ciuman yang tidak diiringi dengan doa-doa penuh harap, tidak pernah ada hari tanpa kepedihan yang menyelip masuk begitu saja.
Layaknya mencintai sesosok matahari, kami dikutuk untuk tidak pernah bisa mencintai tanpa tersengat dan terbakar oleh cahayanya. Layaknya mencintai rembulan, sudah suratan takdir untuk bercinta dibawah dingin yang membekukan tulang. Kami terhujat, ketenangan menjadi permata yang begitu berharga diantara begitu banyak telunjuk dan tatapan mata yang penuh tudingan.
Dan cinta, mungkin cuma itu yang kami punya.
Cinta, tanpa sebentuk pengakuan.
Cinta kami, cinta yang walaupun megap-megap kekurangan oksigen berusaha menyelusup di lorong-lorong kecil gelap, bau, dan penuh tikus got

Maaf, telalu mudah menjadi diriku sendiri ketika bersamamu.

Sewaktu saya membaca kata-kata itu entah di halaman keberapa, sungguh saya tertegun hampir semenit penuh. Kalimat itulah yang menggema di hati saya ketika saya bersama dia. Kedekatan kami, entah bagaimana, dengan ajaibnya merontokkan tembok demi tembok yang kami bangun selama ini. Terlalu mudah untuk menjadi lemah, terlalu mudah untuk mempercayai mimpi, terlalu mudah untuk melonggarkan pertahanan diri dan sekali lagi bermimpi. Tabir demi tabir disingkapkan, dan selayaknya putri arabia menyingkapkan cadar untuk menyongsong kekasihnya, begitu pula kami, telanjang di hadapan satu sama lain ... dengan tubuh kasar, dengan hati tanpa tubir, mengamati, bercinta dengan dosa.
Selalu manis, seperti kembang gula yang lumer di lautan hati, seperti bau marshmallow bakar yang dicelupkan ke dalam susu coklat, seperti itu kami, yin dan yang, menyatu, melekat, bagai putri kerajaaan antah berantah yang tergoda rayuan apel beracun.
Tidak ada lagi seorang saya, tidak ada lagi dia, yang ada hanya kami. Dan dia bukan Edward dengan yang memiliki kekasih seorang peri dengan sejuta bisa, dia menjadi Edward milik saya. Edward yang menyentuh saya sampai ke dasar yang paling dalam. Dan saya Bellanya, miliknya seorang.

"Apa yang kau takutkan, Bella?"
"Aku takut, aku tidak bisa terus bersamamu. Karena untuk alasan yang jelas, aku tak bisa terus di dekatmu. dan Aku takut keinginan untuk bersamamu bahkan lebih kuat dari seharusnya."


Jangan pergi, sayang. Kalau saja kata itu cukup kuat untuk membuatmu tinggal, kalau saja kata itu mampu menghentikan waktu dan membuatmu terus bersandar di pelukan saya, kalau saja kata itu bisa mematahkan rantai-rantai yang menyimpan nama demi nama dan kewajiban demi kewajiban.. maka saya rela, menghabiskan detik demi detik dalam kehidupan saya untuk membisikan doa demi doa, merayu sang pencipta waktu sampai mulut saya berbusa kehabisan nafas supaya jalan kami tidak pernah akan terpisah.

Dia Edward milik saya, yang mencintai saya dengan cinta yang sedemikian uniknya. Yang menyisakan sedikit hangat yang tersisa dari hatinya yang biru untuk memeluk segala luka.
Dia Edward milik saya, sesosok wanita sederhana yang membawa doa dalam langkahnya, yang memimpikan lautan dan gunung dan sebentuk rumah sederhana.
Dia adalah Sang cinta, Sang matahari, dan Sang nafas.

Aku tak tau bagaimana caranya dekat denganmu, aku tak tahu apakah aku bisa

Tapi ternyata tidak sesulit itu. Ternyata rasanya sealami kami bernafas, senormal matahari yang timbul di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Rasanya semudah air yang mengalir dari hulu menuju ke hilir. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami pulang.
Seiring dengan bibir yang mengecup, seirama dengan detakan jantung saat tubuh melekat, di tengah lenguhan dan manisnya suara, kami kembali ke rumah.
Ternyata semudah itu cinta timbul, sesederhana itu cinta ada.. yang entah bagaimana caranya, di atas segala alasan untuk keterpisahan kami, cinta kami punya jalan untuk tumbuh walau diantara derai air mata.

Saya Bellanya, yang mencintainya dengan kekompleksitasan cinta dan keadaan. Yang menggumamkan namanya setiap malam sebelum mata terpejam.
Saya Bellanya, sesosok wanita dengan sejuta kekurangan yang membawa harap dalam dada, yang memimpikan cinta, kebahagiaan, dan harapan.
Saya Bellanya, cintanya, wanitanya, dan jiwanya.

..
..
..


Ini tulisan terlama yang pernah saya buat, berhari-hari saya memikirkan bagaimana saya harus menulis akhir dari tulisan ini. Tapi toh nyatanya, penghabisannya tidak pernah selesai saya tulis sampai detik ini. Sejujurnya, saya bingung! Saya tidak tau apa yang lebih bijak. Apakah saya harus menulis akhirnya sesuai dengan apa yang saya mau, atau saya harus menulis akhirnya sesuai dengan apa yang saya prediksi akan terjadi. Apakah saya harus menulis mimpi, atau saya harus menulis kenyataan walau pahit adanya. Sebuah cerita bahagiakah ini? Apakah kalimat akhirnya akan menceritakan tentang saya dan dia yang duduk di tepi pantai sambil berpelukan mesra?, atau sebaiknya saya menulis bahwa pada akhirnya saya dan dia harus berpisah setelah sedemikian kerasnya kami berusaha untuk bersama?, atau sebaiknya aku menulis bahwa akhirnya kami menyerah dan memilih untuk menghindari satu sama lain sama empat paku memaku peti mati kami di kehidupan sekarang?
Dan bagaimana dengan cinta? bagaimana harus mengakhiri cinta kami? apakah lebih baik jika saya yang mengucapkan selamat tinggal kepadanya? atau dia yang mengucapkan salam perpisahan kepadaku? akankah cinta ini saya buat menjadi abadi walau kita tidak bersama-sama lagi? atau lebih baik kita berakhir dengan saling membenci dan saling memaki?
Saya masih tidak punya jawabnya, jari saya kelu pada saat seharusnya saya menulis akhir dari kisah ini. Karena itu akhir cerita ini belum kelar sampai sekarang. Seperti saya sedang dag-dig-dug menantikan buku selanjutnya dalam trilogi kisah Edward dan Bella ini, saya pun sedang menerka-nerka kemana akhir cinta kami akan berlabuh.
Tapi apapun hasilnya nanti, percayalah .. saya tidak sedang bermimpi sewaktu memimpikannya.

"Aku mencintaimu lebih dari semua yang ada di dunia ini bilang digabungkan, tidakkah itu cukup, Edward?"
"Ya itu cukup, cukup untuk selamanya"


1 komentar:

  1. ooo
    aku kira krn namanya mirip
    belle-bella

    ahhahahahaha


    bukan toh ternyata.. lol bgt aku ini.

    BalasHapus