Sabtu, 17 Juli 2010
The Despair
Kamu tahu,
Saya sering marah pada kamu. Mengata-ngatai kamu bodoh atau buta, baik di depan maupun di belakang kamu.
Saya sering kecewa. Karena ketidaksentifan kamu, karena kamu selalu saja menjadikan saya sebuah opsi padahal kamu tahu dengan pasti bahwa kamu adalah prioritas.
Saya juga sering sedih. Jangan tanya berapa banyak air mata yang mengalir turun gara-gara kamu. Gara-gara pertengkaran kita, atapun semata-mata karena saya rindu kamu.
Jangan pula tanyakan betapa sering saya gemas luar biasa. Kalau saja kamu ada di hadapan saya, sudah habis kamu saya cubiti, atau saya jewer karena kamu tidak pernah mau mengerti.
Tapi sampai hari ini, saya tidak pernah putus asa.
Saya tidak pernah begitu bingung, begitu hampa, begitu letih akan semua.
Saya letih mengejar bayang kamu,
Rasanya seperti melihat bayangan purnama di sebuah danau, indah namun tak pernah bisa terjangkau.
Saya putus asa karena saya benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan untuk meyakinkan kamu, bahwa kamu tidak perlu takut.
Saya bahkan mulai berpikir yang aneh-aneh. Maafkan saja, terlalu sulit rasanya menyimpan rasa positif sementara semua hal menunjukkan hal yang sebaliknya.
Saya mulai mempertanyakan cinta kamu, saya mulai mempertanyakan perasaan kamu.
Benarkah kamu selama ini hanya mempermainkan saya?
Benarkah mimpi yang selama ini saya pikir punya kita berdua itu sebenarnya palsu?
Benarkah semuanya tidak ada artinya lagi untuk kamu? Atau sebenarnya dari dulupun tidak pernah berarti?
Kamu bisu. Kamu gagu.
Yang ada cuma seketik senyum. Tanda :) yang bahkan saya tidak tahu lagi apa artinya.
Yang ada cuma sebaris kata, bahwa kamu perlu berpikir.
Apa lagi yang perlu kamu pikirkan?
Mengapa sekarang? 2 tahun setelah kamu curi hati saya.
Mengapa sekarang? saat semua mimpi telah saya letakkan hati-hati di tangan kamu.
Bukankah pernah saya minta dengan sangat, untuk tidak pernah kamu permainkan hati saya.
Entah mengapa saya menulis ini malam ini.
Mungkin ini sebuah kesedihan, yang saya bahkan tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapnya.
Mungkin ini sebuah rasa hampa, karena begitu lelah hati, karena begitu lelah diri.
Saya ingin sembunyi.
Saya benar-benar ingin sembunyi.
Saya lelah terlonjak kaget setiap dering telepon terdengar, saya lelah berharap, saya lelah bangun dengan rasa hampa karena satu hari lagi berlalu dan kamu masih saja disana entah dengan apa dan siapa.
Saya mengerti bahwa mungkin kamu tidak kembali. Tapi tolong jangan bohongi saya lagi dengan menulis bahwa kamu tidak tahu jalan untuk kembali.
Kamu hanya tidak mau kembali, bukan tidak bisa kembali.
Saya lelah, saya lelah dengan begitu banyak rasa yang ada.
Saya bahkan lelah untuk mencoba membenci kamu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar