Kamis, 16 September 2010

Tentang kekinian




Rasanya seperti memandang cermin, ada namun tak kasat mata.
Dengan tangan memegang timbangan, dan hati yang entahlah apa bentuknya.
Saya mulai menakar, memilah, dan menimbang. Merapal mantra-mantra, walau tidak tahu apa tujuannya.

Beberapa bulan terakhir ini saya berubah. Bahkan karib saya bilang dia tidak lagi mengenali saya. Dia bilang saya tidak punya semangat hidup, walau tetap tertawa terbahak-bahak. Dia bilang mata saya masih terluka, walau saya masih adu tinju dengan dia.
Dia bilang saya lemah. Si lemah yang sok kuat. Si bodoh yang tidak pernah pintar.
Dia bilang saya hanya ahli berpura-pura, manusia sejuta topeng.
Dia bilang saya pembohong ulung, penipu tingkat tinggi.
Saya cuma tertawa, sembari memakinya lebih kencang lagi.

Dia karib saya, teman dari sewaktu saya muda dulu. Sahabat yang bahkan tanggal lahirnya saja saya tidak pernah tahu. Buat saya tidak penting, karena setiap pertemuan kami adalah perayaan. Dan tidak perlu ulang tahun, untuk mabuk gila-gilaan.
Dia karib saya, yang selalu bisa menyambung ujung lidah saya. Yang memeluk saya begitu eratnya pada saat saya hampir gila. Yang tak segan mencaci, karena dia perduli.

Saya sering berkata, bahwa dia seperti lubang hitam di angkasa. Dia menenggelamkan semua kesah saya. Dia menyulap semua cerita saya, menempatkannya dalam kardus-kardus kecil untuk kemudian woosh.. diterbangkannya ke sudut yang paling gelap.
Dan kalau dia bilang saya belum baik-baik saja, maka saya percaya bahwa memang saya belum baik-baik saja.

Sebenarnya saya masih berfungsi. Saya bahkan sudah mulai mencicil pekerjaan, sudah bangun lebih siang, sudah merancang acara nonton untuk akhir minggu. Saya juga tidak lagi banyak bersedih, tidak lagi bolak-balik mengecek apakah nama dia masih ada di tempatnya. Saya bahkan sudah berkata bahwa saya akan mulai mengabaikan. Hidup di masa kini dan bukan di masa lalu.

Tapi ya itulah, saya masih harus mempasrahkan semua pada waktu. Karena waktu menyembuhkan, suka atau tidak suka.
Belajar untuk membersihkan pikiran, menenangkan hati. Ikhlas, kata "guru" saya.

Dan seperti teman-teman lain yang sekarang masih berusaha untuk bangkit, saya tidak sendiri. Saya bukan manusia paling malang di dunia ini. Karena patah hati itu biasa, jutaan orang lain bahkan lebih menderita dari itu. Saya hanya harus lebih bersyukur, bahwa saya tahu sebelum semuanya terlambat.

Ya, mungkin pada akhirnya saya tidak akan pernah bisa kembali ke diri saya yang dulu lagi. Karena biar bagaimanapun pengalaman mendewasakan, dan setiap bekas luka yang ada itu membuat kita belajar. Belajar untuk berhati-hati, belajar untuk tidak mudah percaya, belajar untuk menaruh porsi yang tepat pada orang yang tepat.
Mungkin mata saya tidak akan pernah secerah dulu lagi, mungkin juga senyum saya tidak akan pernah setulus itu lagi. Tapi saya yakin pada akhirnya saya akan sampai pada satu tempat dimana saya merasa cukup.
Dan dengan cukup yang saya punya, saya bahkan tidak akan menengok ke belakang lagi.

Jadi, mari berjuang!

2 komentar:

  1. hahaha, saya pikir hanya saya yang seperti itu
    hahhahaha...


    :) salam kenal ya belle

    BalasHapus
  2. :)
    banyak yang seperti itu, ta :)
    salam kenal juga

    BalasHapus